Ruwatan
merupakan salah satu budaya yang masih dilestarikan di Demak, tepatnya di
Pendapa Notobratan Kadilangu. Budaya Ruwatan diyakini sebagai warisan dari
Sunan Kalijaga. Ruwatan sendiri
dijadikan sebagai salah satu sarana ikhtiar manusia untuk membersihkan aura
negatif. Aura negatif tersebut diyakini
berada pada anak – anak sukerta. Anak – anak sukerta itu antara lain adalah :
1. Ontang
– anting =
Anak tunggal
2. Uger –
uger lawang =
Dua anak laki – laki semua
3. Kembang
Sepasang = Dua
anak perempuan semua
4. Kedono
Kedini = Dua anak, satu perempuan satu laki
– laki
5. Srimpi =
Empat anak, perempuan semua
6. Saramba =
Empat anak, laki – laki semua
7. Pendowo
Limo = Lima anak laki – laki semua
8. Pendawi
Limo =
Lima anak perempuan semua
9. Selasa
Kliwon ( hari kelahiran ) =
Anggara Kasih / Hari Besar
10. Sendhang
Kapit Pancuran = Tiga anak
( Putra – Putri – Putra )
11. Pancuran
Kapit Sendhang = Tiga anak
( Putri – Putra – Putri )
12. Kebo
Kemali =
Anak yang susah dapat jodoh
13. Blunuk
– glonlar =
Anak yang hidupnya selalu susah
Peserta
Ruwatan tidak hanya dari daerah Kabupaten Demak saja, namun juga berasal dari
berbagai daerah, antara lain di daerah Jakarta, Pati, Kudus, Jepara, Temanggung
dan Jawa Barat.
Menurut
salah satu narasumber yang menjadi peserta ruwatan 2013 yaitu Dian Puspitarini
yang merupakan anak yang lahir pada hari Selasa kliwon, sebelum ruwatan
dilaksanakan. Peserta ruwatan harus memenuhi berbagai persyaratan terlebih
dahulu, persyaratan tersebut adalah :
1. Membayar
biaya ruwatan sebesar Rp300.000 / orang
2. Membayar
Tebusan Dalang sebesar Rp5000 / orang
3. Membayar
Wajib Weton sesuai dengan weton masing – masing peserta sukerta
4. Membawa
kain putih yang disesuaikan dengan ukuran peserta ruwatan
5. Membawa
pakaian bekas pantas pakai satu stel
Adapun
menurut Dian pula, prosesi acara ruwatan adalah sebagai berikut :
1. Peserta
ruwatan atau sukerta berkumpul di Wisma Mustika 9 untuk mengganti pakaiannya
dengan kain putih yang digunakan untuk membalut tubuh para sukerta yang telah
dipersiapkan dari rumah
2. Setelah
berganti pakaian, para sukerta pawai menuju Pendapa Notobratan Kadilangu
3. Kemudian
di Pendapa Notobratan Kadilangu digelar pertunjukan wayang kulit “Murwa kala”
oleh Dalang Kandha Bawana Ki Muharso dari Pati.
4. Setelah
pertunjukkan wayang kulit selesai, para sukerta sungkem kepada kedua orang
tuanya untuk meminta maaf atas segala kesalahan. Lalu dilanjutkan sungkem
kepada para sesepuh Kadilangu
5. Kemudian
para sukerta melakukan siraman yang dilakukan oleh sesepuh Kadilangu. Dalam
prosesi siraman sendiri dilakukan dengan membasuh muka sebanyak tiga kali, dan
membasahi badan dari ujung rambut sampai ujung kaki sebanyak tiga kali
6. Setelah
prosesi siraman selesai, para sukerta dipotong kuku dan rambutnya
7. Dan
yang terakhir, setelah berganti pakaian para sukerta mengikuti prosesi
selamatan yang diawali dengan doa bersama.
Menurut
Dian, pakaian bekas pantas pakai satu stel dan kain putih yang tadi dikenakan
pada prosesi ruwatan akan dilarung di laut. Dan ruwatan yang diadakan pada
tahun 2013 di bulan Syuro tersebut merupakan acara ruwatan massal yang berhasil
melampaui rekor muri, yakni dengan 703 orang peserta ruwatan. Hal tersebut juga
tercetak di koran harian Suara Merdeka ( Senin, 2 Desember 2013 ).
Dalam pertunjukan wayang kulit
“Murwa Kala” menceritakan tentang asal mula adanya anak sukerta yang harus
diruwat. Cerita wayang kulit tersebut adalah sebagai berikut :
Alkisah
pada suatu sore, Bathara Guru sedang berkeliling di sekitar daerah kekuasaannya
dengan menaiki Lembu Andhini. Setelah sampai di atas atau di tengah – tengah
samodra Jamuna, Bathara Guru terbayang wajah permaisurinya, Bathara Uma. Karena
bayangannya tersebut, menyebabkan Bathara Guru tidak bisa menahan nafsu
birahinya, yang membuat spermanya atau kamanya keluar jatuh di samodra. Lalu
kama tadi diterjang ombak sampai ketepian, dan menjadi raseksa kecil yang
disebut dengan Kama Salah.
Kama
Salah naik kedaratan dengan tujuan untuk mencari jati dirinya. Kama Salah ingin
mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Setelah melalui pencarian yang panjang,
akhirnya Kama Salah bertemu dengan Bathara Narada. Menurut Bathara Narada, Kama
Salah merupakan anak dari Bathara Guru.
Di
dalam pisowanan agung, Kama Salah pada awalnya tidak dianggap anak oleh Bathara
Guru. Namun karena Kama Salah marah dan membuat keributan di pisowanan agung,
akhirnya Bathara Guru mengakui bahwa Kama Salah juga merupakan anaknya.
Kemudian diadakan Wisodan Kama Salah ( Wisuda diakuinya Kama Salah sebagai
putra Bathara Guru ) dengan diberi nama Bathara Kala. Namun belum puas akan
itu, Bathara Kala meminta apa yang menjadi makanannya. Lalu Bathara Guru
mengatakan bahwa makanan dari Bathara Guru adalah anak – anak sukerta.
Meski
telah diperbolehkan untuk memakan makanannya, namun dalam memangsa putra –
putri sukerta tersebut. Bhatara Kala tidak boleh memakannya dengan hidup –
hidup. Ia harus terlebih dahulu membunuhnya lebih dulu dengan pusaka yang
diberikan Bathara Guru yaitu pusaka “Bedhama”. Bathara Kala menyetujuinya dan
kemudian pamit turun ke marcapada untuk mencari putra – puri sukerta.
Di
pisowanan agung, Bathara Narada protes kepada Bathara Guru. Ia mengkhawatirkan
jika nantinya Bathara Kala akan memakan semua anak – anak sukerta yang ada di
macapada. Oleh karena itu, Bathara Guru kemudian mengutus Bathara Narada untuk
menemui Bathara Wisnu dengan menyandang sebagai Dhalang Kandho Bawono untuk
meminta bantuan.
Di
Macapada, hiduplah seorang janda yang bernama Mpok Randha Sumawit bersama anak
satu – satunya yaitu Jatus Mati. Jatus mati merupakan anak sukerta dalam
golongan ontang – anting, yaitu anak satu – satunya. Karena merasa khawatir,
jika nanti anaknya akan dimakan oleh Bathara Kala, Mbok Randha Sumawit meminta
bantuan pada Dhalang Kandho Bawono.
Jatus
Mati pergi untuk lari dari kejaran Bathara Kala. Jatus Mati kemudian mandi di
Tlogo Madirdo. Karena Bathara Kala tertidur saat menunggu Jatus Mati mandi di
Tlogo Madirdo, pulanglah Jatus Mati dengan selamat. Akan tetapi saat terbangun,
Bathara Kala kembali mengejar Jatus Mati kembali.
Di
ceritakan bahwa Mbok Randha Sumawit sudah sepakat dengan Dhalang Kondho Bawono
bahwa akan mengadakan upacara ruwatan yang bertujuan untuk membantu Jatus Mati
dari kejaran Bathara Kala.
Sampai
pada hari ruwatan, Dhalang Kondho Bawono kemudian menggelar wayang kulit dengan
lakon “Marwa Kala”
Di
tengah pagelaran wayang, datanglah Bathara Kala untuk memakan Jatus Mati. Namun
Dhalang Kondo Buwono melarang Bathara Kala mengganggu jalannya pagelaran
wayang. Kemudian terdapat perjanjian bahwa jika ingin melihat pagelaran wayang,
Bathara Kala harus menitipkan pusaka Bedomo kepada Dhalang Kondho Buwono.
Setelah itu dimantrainyalah pusaka tersebut oleh Dhalang Kondho Buwono. Karena
mantra tersebutlah, Bathara Kala berjanji untuk tidak memakan anak – anak
sukerta yang sudah diruwat.
Menurut
ketua panitia ruwatan, H Suwadi. Ia mengatakan bahwa tujuan peserta mengikuti
ruwatan ini adalah untuk menghilangkan aura buruk yang dapat menghambat
kesuksesan dalam berbagai hal pada kehidupan sehari – hari. Dijelaskan pula
pada ruwatan 2013 lalu, peserta sukerta yang paling tua berusia 70 tahun dan
peserta paling muda berumur tiga bulan.
Menurut
salah seorang panitia ruwatan tahun 2013 lalu. Bahwa ruwatan setiap tahunnya
mengalami perkembangan, hal tersebut terlihat dari peserta ruwatan yang semakin
meningkat dari setiap tahunnya. Contohnya pada ruwatan tahun 2010 peserta
ruwatan berjumlah 81 peserta, sementara pada tahun 2013 mencapai 2013 peserta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar