Pages

Minggu, 23 November 2014

Teks Laporan Hasil Observasi "Budaya Ruwatan di Kabupaten Demak"



Ruwatan merupakan salah satu budaya yang masih dilestarikan di Demak, tepatnya di Pendapa Notobratan Kadilangu. Budaya Ruwatan diyakini sebagai warisan dari Sunan Kalijaga.  Ruwatan sendiri dijadikan sebagai salah satu sarana ikhtiar manusia untuk membersihkan aura negatif.  Aura negatif tersebut diyakini berada pada anak – anak sukerta. Anak – anak sukerta itu antara lain adalah :
1.      Ontang – anting                                 = Anak tunggal
2.      Uger – uger lawang                           = Dua anak laki – laki semua
3.      Kembang Sepasang                            = Dua anak perempuan semua
4.      Kedono Kedini                                     = Dua anak, satu perempuan satu laki – laki
5.      Srimpi                                                 = Empat anak, perempuan semua
6.      Saramba                                              = Empat anak, laki – laki semua
7.      Pendowo Limo                                                = Lima anak laki – laki semua
8.      Pendawi Limo                                     = Lima anak perempuan semua
9.      Selasa Kliwon ( hari kelahiran )         = Anggara Kasih / Hari Besar
10.  Sendhang Kapit Pancuran                 = Tiga anak ( Putra – Putri – Putra )
11.  Pancuran Kapit Sendhang                 = Tiga anak ( Putri – Putra – Putri )
12.  Kebo Kemali                                        = Anak yang susah dapat jodoh
13.  Blunuk – glonlar                                = Anak yang hidupnya selalu susah


Peserta Ruwatan tidak hanya dari daerah Kabupaten Demak saja, namun juga berasal dari berbagai daerah, antara lain di daerah Jakarta, Pati, Kudus, Jepara, Temanggung dan Jawa Barat. 
Menurut salah satu narasumber yang menjadi peserta ruwatan 2013 yaitu Dian Puspitarini yang merupakan anak yang lahir pada hari Selasa kliwon, sebelum ruwatan dilaksanakan. Peserta ruwatan harus memenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu, persyaratan tersebut adalah :
1.      Membayar biaya ruwatan sebesar Rp300.000 / orang
2.      Membayar Tebusan Dalang sebesar Rp5000 / orang
3.      Membayar Wajib Weton sesuai dengan weton masing – masing peserta sukerta
4.      Membawa kain putih yang disesuaikan dengan ukuran peserta ruwatan
5.      Membawa pakaian bekas pantas pakai satu stel
Adapun menurut Dian pula, prosesi acara ruwatan adalah sebagai berikut :
1.      Peserta ruwatan atau sukerta berkumpul di Wisma Mustika 9 untuk mengganti pakaiannya dengan kain putih yang digunakan untuk membalut tubuh para sukerta yang telah dipersiapkan dari rumah
2.      Setelah berganti pakaian, para sukerta pawai menuju Pendapa Notobratan Kadilangu
3.      Kemudian di Pendapa Notobratan Kadilangu digelar pertunjukan wayang kulit “Murwa kala” oleh Dalang Kandha Bawana Ki Muharso dari Pati.
4.      Setelah pertunjukkan wayang kulit selesai, para sukerta sungkem kepada kedua orang tuanya untuk meminta maaf atas segala kesalahan. Lalu dilanjutkan sungkem kepada para sesepuh Kadilangu
5.      Kemudian para sukerta melakukan siraman yang dilakukan oleh sesepuh Kadilangu. Dalam prosesi siraman sendiri dilakukan dengan membasuh muka sebanyak tiga kali, dan membasahi badan dari ujung rambut sampai ujung kaki sebanyak tiga kali
6.      Setelah prosesi siraman selesai, para sukerta dipotong kuku dan rambutnya
7.      Dan yang terakhir, setelah berganti pakaian para sukerta mengikuti prosesi selamatan yang diawali dengan doa bersama.
Menurut Dian, pakaian bekas pantas pakai satu stel dan kain putih yang tadi dikenakan pada prosesi ruwatan akan dilarung di laut. Dan ruwatan yang diadakan pada tahun 2013 di bulan Syuro tersebut merupakan acara ruwatan massal yang berhasil melampaui rekor muri, yakni dengan 703 orang peserta ruwatan. Hal tersebut juga tercetak di koran harian Suara Merdeka ( Senin, 2 Desember 2013 ).
            Dalam pertunjukan wayang kulit “Murwa Kala” menceritakan tentang asal mula adanya anak sukerta yang harus diruwat. Cerita wayang kulit tersebut adalah sebagai berikut :
Alkisah pada suatu sore, Bathara Guru sedang berkeliling di sekitar daerah kekuasaannya dengan menaiki Lembu Andhini. Setelah sampai di atas atau di tengah – tengah samodra Jamuna, Bathara Guru terbayang wajah permaisurinya, Bathara Uma. Karena bayangannya tersebut, menyebabkan Bathara Guru tidak bisa menahan nafsu birahinya, yang membuat spermanya atau kamanya keluar jatuh di samodra. Lalu kama tadi diterjang ombak sampai ketepian, dan menjadi raseksa kecil yang disebut dengan Kama Salah.
Kama Salah naik kedaratan dengan tujuan untuk mencari jati dirinya. Kama Salah ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Setelah melalui pencarian yang panjang, akhirnya Kama Salah bertemu dengan Bathara Narada. Menurut Bathara Narada, Kama Salah merupakan anak dari Bathara Guru.
Di dalam pisowanan agung, Kama Salah pada awalnya tidak dianggap anak oleh Bathara Guru. Namun karena Kama Salah marah dan membuat keributan di pisowanan agung, akhirnya Bathara Guru mengakui bahwa Kama Salah juga merupakan anaknya. Kemudian diadakan Wisodan Kama Salah ( Wisuda diakuinya Kama Salah sebagai putra Bathara Guru ) dengan diberi nama Bathara Kala. Namun belum puas akan itu, Bathara Kala meminta apa yang menjadi makanannya. Lalu Bathara Guru mengatakan bahwa makanan dari Bathara Guru adalah anak – anak sukerta.
Meski telah diperbolehkan untuk memakan makanannya, namun dalam memangsa putra – putri sukerta tersebut. Bhatara Kala tidak boleh memakannya dengan hidup – hidup. Ia harus terlebih dahulu membunuhnya lebih dulu dengan pusaka yang diberikan Bathara Guru yaitu pusaka “Bedhama”. Bathara Kala menyetujuinya dan kemudian pamit turun ke marcapada untuk mencari putra – puri sukerta.
Di pisowanan agung, Bathara Narada protes kepada Bathara Guru. Ia mengkhawatirkan jika nantinya Bathara Kala akan memakan semua anak – anak sukerta yang ada di macapada. Oleh karena itu, Bathara Guru kemudian mengutus Bathara Narada untuk menemui Bathara Wisnu dengan menyandang sebagai Dhalang Kandho Bawono untuk meminta bantuan.
Di Macapada, hiduplah seorang janda yang bernama Mpok Randha Sumawit bersama anak satu – satunya yaitu Jatus Mati. Jatus mati merupakan anak sukerta dalam golongan ontang – anting, yaitu anak satu – satunya. Karena merasa khawatir, jika nanti anaknya akan dimakan oleh Bathara Kala, Mbok Randha Sumawit meminta bantuan pada Dhalang Kandho Bawono.
Jatus Mati pergi untuk lari dari kejaran Bathara Kala. Jatus Mati kemudian mandi di Tlogo Madirdo. Karena Bathara Kala tertidur saat menunggu Jatus Mati mandi di Tlogo Madirdo, pulanglah Jatus Mati dengan selamat. Akan tetapi saat terbangun, Bathara Kala kembali mengejar Jatus Mati kembali.
Di ceritakan bahwa Mbok Randha Sumawit sudah sepakat dengan Dhalang Kondho Bawono bahwa akan mengadakan upacara ruwatan yang bertujuan untuk membantu Jatus Mati dari kejaran Bathara Kala.
Sampai pada hari ruwatan, Dhalang Kondho Bawono kemudian menggelar wayang kulit dengan lakon “Marwa Kala”
Di tengah pagelaran wayang, datanglah Bathara Kala untuk memakan Jatus Mati. Namun Dhalang Kondo Buwono melarang Bathara Kala mengganggu jalannya pagelaran wayang. Kemudian terdapat perjanjian bahwa jika ingin melihat pagelaran wayang, Bathara Kala harus menitipkan pusaka Bedomo kepada Dhalang Kondho Buwono. Setelah itu dimantrainyalah pusaka tersebut oleh Dhalang Kondho Buwono. Karena mantra tersebutlah, Bathara Kala berjanji untuk tidak memakan anak – anak sukerta yang sudah diruwat.
Menurut ketua panitia ruwatan, H Suwadi. Ia mengatakan bahwa tujuan peserta mengikuti ruwatan ini adalah untuk menghilangkan aura buruk yang dapat menghambat kesuksesan dalam berbagai hal pada kehidupan sehari – hari. Dijelaskan pula pada ruwatan 2013 lalu, peserta sukerta yang paling tua berusia 70 tahun dan peserta paling muda berumur tiga bulan.
Menurut salah seorang panitia ruwatan tahun 2013 lalu. Bahwa ruwatan setiap tahunnya mengalami perkembangan, hal tersebut terlihat dari peserta ruwatan yang semakin meningkat dari setiap tahunnya. Contohnya pada ruwatan tahun 2010 peserta ruwatan berjumlah 81 peserta, sementara pada tahun 2013 mencapai 2013 peserta.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar