Pages

Rabu, 14 Maret 2018

Contoh Cerpen "Nama dalam Lembar Takdir"

Nama dalam Lembar Takdir

 Oleh Yeni Alfiani


Sebelumnya aku pernah bahagia..

Bahagia dengan suatu kebohongan, bahagia dengan suatu kemunafikan..

Kemudian aku akhirnya benar-benar merasa bahagia.. bahagia dengan suatu rasa yang bernama CINTA.

            ***


            Gigi duduk termenung di tepi danau. Dia menatap bayangannya sendiri didalam air. Wajahnya murung, matanya sayu. Jemari lentiknya menyentuh pelan bayangannya sendiri. Basah, jemarinya basah. Bayangan gadis itupun bergoyang. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Masa dimana ia pernah merasa bahagia. Bahkan sangat bahagia.

            ***

“ Gi.. kamu ditunggu Gio di parkiran. “ seru Viona dengan senyum sumringah. Matanya yang sipit itu semakin sipit.

“ Ah, iya Vi. Masa?.. “ jawab Gigi tanpa melihat ke arah Viona. Disambarnya tas ransel miliknya. Dia bergegas lari menuju pintu keluar.

Dengan perasaan paling bahagia Gigi menghampiri sosok pria di gerbang tersebut. Matanya penuh kebahagiaan, seolah ada pelangi didalamnya. Gigi memberikan senyum termanisnya untuk pria tersebut. Dari penampilannya mereka seumuran. Hanya Gio satu tingkat dibawah Gigi. Giopun membalas senyum gadis itu.

“ Mau kemana yang? ” tanya Gigi dengan antusias. Gio hanya diam mengisyaratkan agar Gigi cepat membonceng dibelakangnya.

            Gigi agak bingung, tidak biasanya Gio seperti itu. Di perjalanan Gigi terus bertanya ada apa dengan Gio. Tapi tetap tidak ada jawaban dia tetap saja diam. Gigi bertanya tanya dalam hati. Gio kenapa? Apa Gigi membuatnya sebel lagi? Apa Gigi berbuat salah? Dia tidak tahu jawabannya.

            Gigi tertunduk. Dia mengeratkan pelukannya pada pinggang Gio.

Motor Gio berhenti di suatu pantai.

“ Turunlah.. “ pinta Gio. Gigipun segera turun.

Dia menatap lekat-lekat kekasihnya itu. Gio tetap sama.

Hening. Sampai akhirnya Gio membuka mulutnya.

            “ Gi.. “ panggil Gio tanpa melihat ke arah Gigi.

            “ Kenapa? Ada apa ? kok kamu manggilnya gitu? “ Gigi sudah merasakan sesuatu.

            “ Aku sama Nana sudah resmi jadian. “

            Gigi membelalak. Matanya mendadak panas. Dadanya sesak. Pasokan oksigen seakan menipis. Apa-apaan ini? Jadian? Bukankah Gio dan Gigi adalah sepasang kekasih?

            “.. sudah seminggu yang lalu kami jadian “ terdengar suara Gio mulai berat.

            Gigi tetap diam. Lututnya lemas. Ingin rasanya dia tumbang ke tengah laut. Kemudian hanyut tertelan ombak.

            “ Awalnya aku juga nggak ngira bakal kaya gini, Gi. Aku masih sayang kamu... “

            “ Cukup.” Gigi memotong.

            “ Apa aku gampang banget dikibulin? Iya kayanya emang kaya gitu. Bukankah kita sudah 3 tahun pacaran? Tiappagikamubilang sayangke aku.Jadi? Itu semua bohong? “ nada Gigi semakin meninggi. Air mata Gigi tak bisa ditahan lagi. Kini pipinya sudah basah. Gigi menunduklesu.

            “ Kenapa harus Nana? Kamu tau kan aku danNanabagai musuh bebuyutan !

Ah, atau kamu sengaja? iya? Kamuinginmelihatkusemakinjatuh? “ Gigi mulai melemah. Otaknya tidak bisa berpikir.Entahapalagi yang harusialakukan, dipertahankanpun sudahtidakmungkin.

            “ Gi.. aku minta maaf. Aku khilaf.. aku cuma pengen jujur aja sama kamu kalo aku dan Nana... “

            “ Iya makasih banget kamu udah mau jujur...

Sekarang tinggalkan aku sendiri. “ Gigi menghela nafas.

            Dengan berat hati Gio meninggalkan Gigi.

            Motor itu telah jauh melaju meninggalkan Gigi yang mulai berlutut menghadap laut yang membentang luas. Deburan ombak itu tercium sangat wangi masuk beserta udara yang cukup sejuk mengisi kekosongan yang mulai merangkak menguasai gigi. Rasa yang bahkan belum pernah gigi rasakan. Dia baru saja mengecap bagaimana rasanya bahagia dengan pria yang dicintainya. Dan pria itu pula yang pertama kali meninggalkan luka yang dalam di diri Gigi.

***

Tuhan menjanjikan setiap kebahagiaan untuk umatnya

Tak terkecuali untukku dan untukmu

Dengan lembaran takdir yang Tuhan cipaktakan

Aku percaya namaku dan namamu terselip diantara lembaran takdir itu

Gigi bangkit dari duduknya. Meninggalkan goyangan pada air danau. Melesat jauh, entah kemana sang kaki akan membawanya. Pandangannya lurus ke depan, ayunan sederhana dari tangannya menemani setiap langkah kakinya.

            ***

“Gigi”

Gigi merasa namanya dipanggil, Gigipun mencari sumber suara. Ternyata yang memanggilnya adalah Viona, sahabatnya.

“Duhh Gi ..” napas Viona tersengal-sengal.

“Kenapa Vi?” tanya Gigi dengan wajah bingung melihat Viona seperti orang yang habis lari maraton.

“Kamu dipanggil dari tadi gak nengok-nengok sih ! sampe aku lari-lari kaya gini buat ngejar kamu.” Omel Viona

“Duh sorry banget ya Vi, aku bener-bener nggak denger tadi, hehe..” Jawab Gigi dengan wajah polosnya.

“Emangnya ada apa Vi?” kok tumben banget kamu ada di tempat kaya gini. Biasanya kan kamu paling anti sama tempat yang kaya gini?” tanya Gigi

Viona memang tidak suka dengan tempat yang sepi, seperti sekarang di danau. Viona lebih suka dengan tempat yang rame, seperti mall. Yaps, betul banget. Viona itu hobi banget shopping dan hang out ke cafe-cafe.

“HAHA” Viona tertawa terbahak-bahak. Tau banget sih kamu Gi. Gini nih ceritanya, tadi kebetulan aja aku lewat daerah sini sama keluarga. Terus keinget aja kalau kamu suka ke danau ini. Jadi, aku bilang sama keluargaku kalau aku mau nemuin kamu di sini, hehe” beber Viona.

“Oh gitu” jawab Gigi dan langsung pergi meninggalkan Viona.

“Gigiiiiiiiiiiii ..!!!”

“Sumpah lo nyebelin banget Gi, tungguin gue.. !”

Gigi tidak menghiraukan teriakan sahabatnya itu, kakinya melangkah begitu saja.

            ***

“Hallo anak-anak.” sapa Gigi dengan ramah.

“Hallo kakak cantik.” jawab mereka serempak.

“Selamat pagi, sudah siap belajar untuk hari ini kan ?”

“Sudah kakak cantik” kembali mereka menjawab dengan kompak.

Setelah hubungannya dengan Gio berakhir, Gigi memilih untuk mengisi waktu luangnya dengan mengajar anak-anak jalanan di sekitar sekolahnya. Gigi melakukan itu semua dengan sukarela, selain itu juga agar Gigi bisa sedikit mengurangi kesedihannya karena ulah Gio. Orang yang dulu benar-benar ia cintai.

DULU ?

Mungkin kata itu salah, karena sampai saat ini Gigi masih sangat mencintai Gio. BODOH

Gigi sadar akan kebodohannya itu, masih mencintai laki-laki yang sudah jelas menyakiti hatinya dan lebih memilih wanita lain ketimbang dirinya. Tapi hati tidak bisa berbohong, CINTA dalam hatinya masih tersimpan untuk laki-laki brengsek bernama Gio.

“Baiklah, sekarang kita belajar matematika dulu ya?” tawar Gigi dan langsung mendapat anggukan dari anak-anak didiknya. Lalu Gigi menuliskan soal di papan tulis sederhana yang ia ambil dari gudang rumahnya yang sudah tidak terpakai lagi.

“7 + 9 = . . .”

“Siapa yang mau maju ke depan, akan kakak kasih hadiah” ucap Gigi riang sambil menyembunyikan sesuatu di balik tangannya. Sontak anak-anak langsung berebut untuk maju ke depan.

“Mmmmmm...” Gigi menunjuk salah satu anak.

“Iya, kamu Anto. Kamu maju ke depan.” Anto pun maju ke depan dan mengerjakan soal yang telah Gigi tuliskan. Jawaban Anto salah, meskipun begitu Gigi tetap memberikan hadiah untuk Anto.

Tidak terasa kegiatan belajar-mengajar sore itupun berakhir. Akhirnya Gigi pulang menuju rumahnya untuk beristirahat. Di jalan, Gigi bertemu dengan seorang laki-laki yang dianggapnya tidak asing. Meskipun begitu, sebenarnya Gigi tidak mengenal siapa laki-laki itu. Laki-laki bertubuh kurus, tinggi, kulit coklat sawo matang itu selalu ada di saat Gigi pulang mengajar anak-anak didiknya. Gigi tidak bisa melihat wajah laki-laki itu, karena topi dan masker yang laki-laki itu pakai.

“laki-laki aneh ..!” umpat Gigi

Gigi memicingkan matanya sekali lagi, mencoba menerawang siapa yang ada dibalik topi dan masker tersebut. Setiap Gigi mencoba ingin mengetahui siapa laki-laki itu, laki-laki langsung pergi melesat jauh. Hingga tidak dapat lagi terlihat oleh indera visual Gigi.

            ***

Lepaskanlah sesuatu yang kau cintai

Jika dia kembali

Dia akan menjadi milikmu selamanya

Jika dia tidak kembali

Maka dia tidak mencintaimu sejak awal



Dua tahun berlalu, kini Gigi resmi menyandang status mahasiswa ilmu kesehatan hewan di salah satu universitas ternama di Bandung. Sedangkan sahabatnya si Viona melanjutkan di Jakarta, karena profesi sang ayah yang mengharuskan keluarga mereka pindah.

            ***

“Hari ini kamu ada kuliah jam berapa Gi ?” tanya Susan teman kampus Gigi.

“Ada San, nanti jam 9” jawab Gigi.

“Yaudah aku jalan dulu ya, daahhh ...” Susan berlalu meninggalkan Gigi di taman seorang diri. Sementara Gigi masih setia dengan setumpuk buku di depannya.

Selesai kuliah seperti biasa Gigi melakukan kegiatan yang sudah ia kerjakan selama dua tahun lalu yaitu mengajar anak-anak jalanan. Tak lupa Gigi selalu membawa buah tangan untuk anak-anak didiknya. Nalurinya sebagai ibu sangat melekat pada dirinya, ia begitu mencintai dan menyayangi anak-anak.

Pulang mengajar Gigi sengaja tidak melewati jalan yang biasa ia gunakan ketika pulang. Hari ini ia mempunyai misi ingin membongkar siapa laki-laki yang selama ini mengawasinya. YA, dua tahun lamanya Gigi selalu diawasi oleh sosok laki-laki misterius yang tidak ia kenal.

“Aku penasaran, siapa laki-laki itu ? Kenapa dia selalu mengawasiku? Ini sudah tidak bisa di biarkan, dua tahun kamu ngawasin aku. Apa-apaan coba.” Oceh Gigi dalam langkahnya. Mata Gigi berkeliaran, mencari sosok laki-laki misterius itu. Hatinya tak sabar lagi, ingin segera mengetahuinya. Langkah kakinya dipercepat dan yaps, matanya menangkap sosoknya. Dengan langkah pelan Gigi mendekati sosok laki-laki itu. Dan . . .

“..”

Tak ada ocehan Gigi lahi. Mata Gigi melebar, mulutnya menganga, tak percaya dengan apa yang ia lihat di depannya. Matanya memanas, butiran kristal siap meluncur ke pipinya.

“Gggioo” susah payah Gigi mengucapan nama itu. Nama yang sudah dua tahun ini tidak ia tuturkan namun masih terkenang di hati Gigi.

            ***

“Apa kabar ?” Gio membuka percakapan.

“Baik.” jawab Gigi datar dengan pandangan lurus ke depan.

“Kamu makin cantik Gi.” puji Gio dengan senyum mengembang di bibirnya.

Sementara Gigi tidak bergeming menerima pujian dari Gio, pandangan matanya tetap lurus ke depan. Menerawang jauh, pikirannya bercampur. Senang, sedih, atau kecewa yang seharusnya ia rasakan? Entahlah ..

“..”

“hari sudah gelap, sebaiknya aku pulang” ucap Gigi dan langsung melangkah meninggalkan Gio.

***

Tuhan menciptakan kau menjadi separuh dari jiwaku

Tuhan menuliskan namaku dan namamu dalam lembaran takdir-NYA

Dan selamanya akan seperti itu

Akan ku temani laki-laki brengsekku sampai ajal menjemput



Gemerincing tawa terdengar jelas di taman sudut kota sore itu. Dua sejoli yang tengah asyik memerankan skenario kebahagiaan yang ditulis Tuhan ialah Gigi dan Gio. Semenjak dipergoki Gigi waktu itu, sekarang Gio berani menampakkan dirinya di depan Gigi. Tak jarang juga Gio menjemput Gigi di kampusnya.

“Gigi, aku seneng masih bisa liat senyum cantik kamu” tutur Gio dengan lembut

“Aku juga. Sebenernya aku sama sekali nggak nyangka bisa ketemu sama kamu lagi Gio. Apalagi semenjak kamu mutusin ninggalin aku dan jalan sama Na ...”

Ucapan Gigi terputus, bibir Gio menutup rapat-rapat mulut Gigi. Kini bibir mereka saling bertautan. Menikmati setiap inchi kerinduan yang yang menyiksa, penuh dengan hasrat, cinta, dan kasih sayang.

Tak ada paksaan, Gio memperlakukan bibir Gigi dengan sangat lembut. Mereka menikmatinya, Gigipun membalas setiap gerakan dari bibir Gio.

“Aku mencintaimu dan akan selamanya mencintaimu” ucap Gio setelah adegan itu. Ucapan Gio tersebut  membuat cairan bening itu meluncur bebas tanpa permisi ke pipi Gigi. Gigi terharu dan langsung memeluk erat laki-laki brengsek yang ada di depannya.

“Aku juga mencintaimu Gio” balas Gigi dengan bercucur air mata.

            ***

Gigi bergegas meninggalkan kelas siang itu, langkahnya semakin cepat. Panik dan gugup jelas tergambar di paras cantik Gigi.

Gigi melambaikan tangannya, “taxi”

Cepat-cepat Gigi masuk ke dalam taxi dan menunjukkan tujuan Gigi kepada sopir taxi. Gigi seperti itu hukan tanpa alasan, Gigi mendapat sebuah pesan dari orangtuanya Gio yang memberitahukan bahwa sekarang Gio sedang berada di rumah sakit. Dalam perjalanan Gigi tampak tidak tenang, air matanya sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Gigi takut terjadi sesuatu hal terhadap Gio.

Di koridor rumah sakit Gigi berlari danselalu menyebut nama pujaan hatinya “Gio, Gio, Gio.” Matanya mencari dimana papan bertuliskan “Anggrek No. 108.”

Gigi membuka pintu ruangan Gio dirawat, “Gigi” panggil Gio

“Gio” ucap Gigi lirih.” sebenernya kamu sakit apa? Kamu membuat aku khawatir Gio”. Mungkin ini sudah waktunya kamu tau Gi, “sebenernyaa...”

“sebenernya apa Gio? Kamu nggak sakit parah kan? Cepet bilang sama aku.” Tanya Gigi yang semakin panik. Perasaannya semakin takut

“sebenernya.. sebenernya aku ken AIDS Gi” jawab Gio melemah.

Gigi langsung melepaskan genggaman tangan Gio, Gigi shock. Gigi tidak menyangka akan hal itu. Langkahnya semakin mundur, menjauh dari ranjang Gio. Dan akhirnya Gigi pergi meninggalkan ruangan itu. Ia berlari sambil terisak, ia belum bisa menerima kenyataan ini. Kisahnya bersama Gio yang ia pikir akan berakhir dengan bahagia, kini hangus sudah.

            ***

Selama seminggu Gigi tidak menemui ataupun menjenguk Gio. Gigi ingin mendamaikan hati dan pikirannya. Dan hari ini ia sudah mendapatkan keputusan yang terbesar dalam hidupnya. Ia akan tetap bersama Gio walau apapun keadaannya.

“Semangat Gigi” Gigi menyemangati dirinya sendiri. Dengan langkah ringan membawa Gigi ke tempat tujuannya, rumah Gio.

“Tingtong.. tingtong.” Bel berbunyi, seorang perempuan paruh baya yang Gigi kenal sebagai pembantu rumah tangga keluarga Gio. Perempuan paruh baya itupun mempersilahkan Gigi masuk. Saat Gigi masuk, terlihat Gio sedang menonton tv di ruang tengah sendirian.

“Gio” panggil Gigi

Gio menengok, “Gigi ?”

Gio tidak menyangka akan kedatangan Gigi,di sisi lain juga Gio bahagia Gigi masih mau menemui dirinya.

“..” Gigi berjalan ke arah Gio dan langsung menghambur dalam dekapan Gio. Tangan Gio pun membalas pelukan Gigi.

            ***

Satu bulan berlalu, Gigi dengan setia menemani hari-hari Gio. Tak ada rasa jijik atau lainnya yang mengharuskan Gigi untuk berjauhan dengan Gio. Bagi dirinya Gio tetaplah laki-laki brengseknya yang akan selamanya menghuni hatinya.

Malam ini Gio mengajak Gigi makan malam. Gigi sudah siap duduk di depan rumahnya menunggu Gio datang menjemputnya.

“Piip..piippp” suara klakson mobil sudah berbunyi, itu tandanya Gio sudah datang. Gigi bergegas keluar.

Malam ini akan menjadi malam yang paling indah untuk Gigi. Gio sudah menyiapkan makan malam romantis untuk Gigi.

            ***

“Huaaaaaa...” Gigi mengucek matanya. Hari ini Gigi merasa menjadi perempuan yang paling bahagia di negeri ini. Ia masih terbayang-bayang dengan makan malam romantisnya dengan Gio. Tiba-tiba “kring..kring..kring” ponsel Gigi berbunyi, tertera nama Gio pada layar ponselnya.

“..” belum sempat mengucapkan sepatah katapun, air mata Gigi meluncur keluar.

“Gio sekarat, sekarang ada di rumah sakit.” Kalimat itulah yang terngiang di pikiran Gigi.

Setibanya di rumah sakit Gigi sudah melihat tubuh Gio sudah di tutupi oleh kain putih. Gio sudah meninggal.

***

Taburan kembang Gigi persembahkan untuk kubur Gio. Krudung hitam, pakaian hitam, dan kaca mata hitam tak mau lepas dari tubuh Gigi. Awan mendung menyelimuti hatinya. Burung-burung yang biasanya berkicau indah kini sepi, tak ada suara.

“Gigi, boleh tante bicara sebentar sama kamu? Ada hal yang ingin tante bicarakan sama kamu.” Ibu Gio mengusap lembut pucuk kepala Gigi.

“Gio terkena AIDS sejak ia putus hubungan dengan kamu. Saat itu Gio tidak mengetahui kalau ia mengidap AIDS. Malam itu Gio mendadak muntah darah dan segera dilarikan di rumah sakit. Setelah di cek oleh dokter ternyata Gio mengidap HIV AIDS. Gio sempat ingin bunuh diri, tetapi hal itu selalu ketahuan oleh kami. Kami dan para dokter berusaha mengembalikan kondisi psikolog Gio, agar Gio bisa melanjutkan sisa hidupnya.” Mama Gio berghenti sejenak lalu melanjutkan ceritanya.

Sementara Gigi mendengarkan setiap kata yang terucap dadri bibir Mama Gio, Gigi tidak ingin melewatkan satu katapun dari cerita Mama Gio.

“Setelah itu, Gio putuskan untuk membicarakan tentang penyakitnya dengan Nana. Gio berpikir dengan dia bercerita dengan Nana, Gio dapat mendapatkan support dari Nana. tetapi Gio salah, Nana tidak bisa menerima Giodan penyakitnya. Nana malah menuduh Gio adalah seseorang yang doyan seks. Dan Nana meninggalkan Gio begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gio saat itu.”

Hubungan Gio dan Nana  hanya bertahan tiga bulan saja, selebihnya Gio terpuruk sendiri dengan penyakitnya dan juga penyesalannya karena sudah menyakiti dan meninggalkan kamu, Gigi. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk selalu mengawasi kamu ketika kamu sedang mengajar, Gio tidak berani muncul dihadapan kamu. Gio merasa dirinya hina dan kotor.

Lau Gio mengatakan pada tante, bahwa kamu mau menerima Gio kembali, saat itu Gio sangat bahagia sekali. Semangat hidupnya berkobar, ia rajin meminum obatnya. Meskipun Gio tahu kalau penyakitnya tidak akan bisa disembuhkan. Setidaknya itu bisa memperlambat kematian Gio.

Tante sangat berterimakasih sama kamu Gi, kamu mau menemani Gio di sisa umurnya. Meskipun kamu tahu kalau Gio terkena HIV AIDS. Terimakasih Gigi.” Mama Gio memeluk Gigi dan diakhiri dengan isak tangis di antara keduanya.



*TAMAT*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar