Nama dalam Lembar Takdir
Oleh Yeni Alfiani
Sebelumnya aku pernah bahagia..
Bahagia dengan suatu kebohongan,
bahagia dengan suatu kemunafikan..
Kemudian aku akhirnya benar-benar
merasa bahagia.. bahagia dengan suatu rasa yang bernama CINTA.
Gigi duduk termenung di tepi danau.
Dia menatap bayangannya sendiri didalam air. Wajahnya murung, matanya sayu.
Jemari lentiknya menyentuh pelan bayangannya sendiri. Basah, jemarinya basah.
Bayangan gadis itupun bergoyang. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Masa
dimana ia pernah merasa bahagia. Bahkan sangat bahagia.
***
“
Gi.. kamu ditunggu Gio di parkiran. “ seru Viona dengan senyum sumringah.
Matanya yang sipit itu semakin sipit.
“
Ah, iya Vi. Masa?.. “ jawab Gigi tanpa melihat ke arah Viona. Disambarnya tas
ransel miliknya. Dia bergegas lari menuju pintu keluar.
Dengan
perasaan paling bahagia Gigi menghampiri sosok pria di gerbang tersebut.
Matanya penuh kebahagiaan, seolah ada pelangi didalamnya. Gigi memberikan
senyum termanisnya untuk pria tersebut. Dari penampilannya mereka seumuran. Hanya
Gio satu tingkat dibawah Gigi. Giopun membalas senyum gadis itu.
“
Mau kemana yang? ” tanya Gigi dengan antusias. Gio hanya diam mengisyaratkan
agar Gigi cepat membonceng dibelakangnya.
Gigi agak bingung, tidak biasanya Gio
seperti itu. Di perjalanan Gigi terus bertanya ada apa dengan Gio. Tapi tetap
tidak ada jawaban dia tetap saja diam. Gigi bertanya tanya dalam hati. Gio
kenapa? Apa Gigi membuatnya sebel lagi? Apa Gigi berbuat salah? Dia tidak tahu
jawabannya.
Gigi tertunduk. Dia mengeratkan
pelukannya pada pinggang Gio.
Motor
Gio berhenti di suatu pantai.
“
Turunlah.. “ pinta Gio. Gigipun segera turun.
Dia
menatap lekat-lekat kekasihnya itu. Gio tetap sama.
Hening.
Sampai akhirnya Gio membuka mulutnya.
“ Gi.. “ panggil Gio tanpa melihat
ke arah Gigi.
“ Kenapa? Ada apa ? kok kamu
manggilnya gitu? “ Gigi sudah merasakan sesuatu.
“ Aku sama Nana sudah resmi jadian.
“
Gigi membelalak. Matanya mendadak
panas. Dadanya sesak. Pasokan oksigen seakan menipis. Apa-apaan ini? Jadian?
Bukankah Gio dan Gigi adalah sepasang kekasih?
“.. sudah seminggu yang lalu kami
jadian “ terdengar suara Gio mulai berat.
Gigi tetap diam. Lututnya lemas.
Ingin rasanya dia tumbang ke tengah laut. Kemudian hanyut tertelan ombak.
“ Awalnya aku juga nggak ngira bakal
kaya gini, Gi. Aku masih sayang kamu... “
“ Cukup.” Gigi memotong.
“ Apa aku gampang banget dikibulin?
Iya kayanya emang kaya gitu. Bukankah kita sudah 3 tahun pacaran? Tiappagikamubilang sayangke aku.Jadi? Itu semua bohong? “ nada Gigi semakin
meninggi. Air mata Gigi tak bisa ditahan lagi. Kini pipinya sudah basah. Gigi menunduklesu.
“ Kenapa harus Nana? Kamu tau kan
aku danNanabagai musuh bebuyutan !
Ah,
atau kamu sengaja? iya? Kamuinginmelihatkusemakinjatuh?
“
Gigi mulai melemah. Otaknya tidak bisa berpikir.Entahapalagi yang harusialakukan, dipertahankanpun
sudahtidakmungkin.
“ Gi.. aku minta maaf. Aku khilaf..
aku cuma pengen jujur aja sama kamu kalo aku dan Nana... “
“ Iya makasih banget kamu udah mau
jujur...
Sekarang
tinggalkan aku sendiri. “ Gigi menghela nafas.
Dengan berat hati Gio meninggalkan Gigi.
Motor itu telah jauh melaju
meninggalkan Gigi yang mulai berlutut menghadap laut yang membentang luas.
Deburan ombak itu tercium sangat wangi masuk beserta udara yang cukup sejuk
mengisi kekosongan yang mulai merangkak menguasai gigi. Rasa yang bahkan belum
pernah gigi rasakan. Dia baru saja mengecap bagaimana rasanya bahagia dengan
pria yang dicintainya. Dan pria itu pula yang pertama kali meninggalkan luka yang
dalam di diri Gigi.
***
Tuhan menjanjikan setiap
kebahagiaan untuk umatnya
Tak terkecuali untukku dan untukmu
Dengan lembaran takdir yang Tuhan
cipaktakan
Aku percaya namaku dan namamu terselip
diantara lembaran takdir itu
Gigi
bangkit dari duduknya. Meninggalkan goyangan pada air danau. Melesat jauh,
entah kemana sang kaki akan membawanya. Pandangannya lurus ke depan, ayunan
sederhana dari tangannya menemani setiap langkah kakinya.
***
“Gigi”
Gigi
merasa namanya dipanggil, Gigipun mencari sumber suara. Ternyata yang
memanggilnya adalah Viona, sahabatnya.
“Duhh
Gi ..” napas Viona tersengal-sengal.
“Kenapa
Vi?” tanya Gigi dengan wajah bingung melihat Viona seperti orang yang habis
lari maraton.
“Kamu
dipanggil dari tadi gak nengok-nengok sih ! sampe aku lari-lari kaya gini buat
ngejar kamu.” Omel Viona
“Duh
sorry banget ya Vi, aku bener-bener nggak denger tadi, hehe..” Jawab Gigi
dengan wajah polosnya.
“Emangnya
ada apa Vi?” kok tumben banget kamu ada di tempat kaya gini. Biasanya kan kamu
paling anti sama tempat yang kaya gini?” tanya Gigi
Viona
memang tidak suka dengan tempat yang sepi, seperti sekarang di danau. Viona
lebih suka dengan tempat yang rame, seperti mall.
Yaps, betul banget. Viona itu hobi banget shopping
dan hang out ke cafe-cafe.
“HAHA”
Viona tertawa terbahak-bahak. Tau banget sih kamu Gi. Gini nih ceritanya, tadi
kebetulan aja aku lewat daerah sini sama keluarga. Terus keinget aja kalau kamu
suka ke danau ini. Jadi, aku bilang sama keluargaku kalau aku mau nemuin kamu
di sini, hehe” beber Viona.
“Oh
gitu” jawab Gigi dan langsung pergi meninggalkan Viona.
“Gigiiiiiiiiiiii
..!!!”
“Sumpah
lo nyebelin banget Gi, tungguin gue.. !”
Gigi
tidak menghiraukan teriakan sahabatnya itu, kakinya melangkah begitu saja.
***
“Hallo
anak-anak.” sapa Gigi dengan ramah.
“Hallo
kakak cantik.” jawab mereka serempak.
“Selamat
pagi, sudah siap belajar untuk hari ini kan ?”
“Sudah
kakak cantik” kembali mereka menjawab dengan kompak.
Setelah
hubungannya dengan Gio berakhir, Gigi memilih untuk mengisi waktu luangnya
dengan mengajar anak-anak jalanan di sekitar sekolahnya. Gigi melakukan itu
semua dengan sukarela, selain itu juga agar Gigi bisa sedikit mengurangi
kesedihannya karena ulah Gio. Orang yang dulu benar-benar ia cintai.
DULU
?
Mungkin
kata itu salah, karena sampai saat ini Gigi masih sangat mencintai Gio. BODOH
Gigi
sadar akan kebodohannya itu, masih mencintai laki-laki yang sudah jelas
menyakiti hatinya dan lebih memilih wanita lain ketimbang dirinya. Tapi hati
tidak bisa berbohong, CINTA dalam hatinya masih tersimpan untuk laki-laki
brengsek bernama Gio.
“Baiklah,
sekarang kita belajar matematika dulu ya?” tawar Gigi dan langsung mendapat
anggukan dari anak-anak didiknya. Lalu Gigi menuliskan soal di papan tulis
sederhana yang ia ambil dari gudang rumahnya yang sudah tidak terpakai lagi.
“7
+ 9 = . . .”
“Siapa
yang mau maju ke depan, akan kakak kasih hadiah” ucap Gigi riang sambil
menyembunyikan sesuatu di balik tangannya. Sontak anak-anak langsung berebut
untuk maju ke depan.
“Mmmmmm...”
Gigi menunjuk salah satu anak.
“Iya,
kamu Anto. Kamu maju ke depan.” Anto pun maju ke depan dan mengerjakan soal
yang telah Gigi tuliskan. Jawaban Anto salah, meskipun begitu Gigi tetap
memberikan hadiah untuk Anto.
Tidak
terasa kegiatan belajar-mengajar sore itupun berakhir. Akhirnya Gigi pulang
menuju rumahnya untuk beristirahat. Di jalan, Gigi bertemu dengan seorang
laki-laki yang dianggapnya tidak asing. Meskipun begitu, sebenarnya Gigi tidak
mengenal siapa laki-laki itu. Laki-laki bertubuh kurus, tinggi, kulit coklat
sawo matang itu selalu ada di saat Gigi pulang mengajar anak-anak didiknya.
Gigi tidak bisa melihat wajah laki-laki itu, karena topi dan masker yang
laki-laki itu pakai.
“laki-laki
aneh ..!” umpat Gigi
Gigi
memicingkan matanya sekali lagi, mencoba menerawang siapa yang ada dibalik topi
dan masker tersebut. Setiap Gigi mencoba ingin mengetahui siapa laki-laki itu,
laki-laki langsung pergi melesat jauh. Hingga tidak dapat lagi terlihat oleh
indera visual Gigi.
***
Lepaskanlah sesuatu yang kau cintai
Jika dia kembali
Dia akan menjadi milikmu selamanya
Jika dia tidak kembali
Maka dia tidak mencintaimu sejak
awal
Dua
tahun berlalu, kini Gigi resmi menyandang status mahasiswa ilmu kesehatan hewan
di salah satu universitas ternama di Bandung. Sedangkan sahabatnya si Viona
melanjutkan di Jakarta, karena profesi sang ayah yang mengharuskan keluarga
mereka pindah.
***
“Hari
ini kamu ada kuliah jam berapa Gi ?” tanya Susan teman kampus Gigi.
“Ada
San, nanti jam 9” jawab Gigi.
“Yaudah
aku jalan dulu ya, daahhh ...” Susan berlalu meninggalkan Gigi di taman seorang
diri. Sementara Gigi masih setia dengan setumpuk buku di depannya.
Selesai
kuliah seperti biasa Gigi melakukan kegiatan yang sudah ia kerjakan selama dua
tahun lalu yaitu mengajar anak-anak jalanan. Tak lupa Gigi selalu membawa buah
tangan untuk anak-anak didiknya. Nalurinya sebagai ibu sangat melekat pada
dirinya, ia begitu mencintai dan menyayangi anak-anak.
Pulang
mengajar Gigi sengaja tidak melewati jalan yang biasa ia gunakan ketika pulang.
Hari ini ia mempunyai misi ingin membongkar siapa laki-laki yang selama ini
mengawasinya. YA, dua tahun lamanya Gigi selalu diawasi oleh sosok laki-laki
misterius yang tidak ia kenal.
“Aku
penasaran, siapa laki-laki itu ? Kenapa dia selalu mengawasiku? Ini sudah tidak
bisa di biarkan, dua tahun kamu ngawasin aku. Apa-apaan coba.” Oceh Gigi dalam
langkahnya. Mata Gigi berkeliaran, mencari sosok laki-laki misterius itu.
Hatinya tak sabar lagi, ingin segera mengetahuinya. Langkah kakinya dipercepat
dan yaps, matanya menangkap sosoknya. Dengan langkah pelan Gigi mendekati sosok
laki-laki itu. Dan . . .
“..”
Tak
ada ocehan Gigi lahi. Mata Gigi melebar, mulutnya menganga, tak percaya dengan
apa yang ia lihat di depannya. Matanya memanas, butiran kristal siap meluncur
ke pipinya.
“Gggioo”
susah payah Gigi mengucapan nama itu. Nama yang sudah dua tahun ini tidak ia
tuturkan namun masih terkenang di hati Gigi.
***
“Apa
kabar ?” Gio membuka percakapan.
“Baik.”
jawab Gigi datar dengan pandangan lurus ke depan.
“Kamu
makin cantik Gi.” puji Gio dengan senyum mengembang di bibirnya.
Sementara
Gigi tidak bergeming menerima pujian dari Gio, pandangan matanya tetap lurus ke
depan. Menerawang jauh, pikirannya bercampur. Senang, sedih, atau kecewa yang
seharusnya ia rasakan? Entahlah ..
“..”
“hari
sudah gelap, sebaiknya aku pulang” ucap Gigi dan langsung melangkah
meninggalkan Gio.
***
Tuhan menciptakan kau menjadi separuh
dari jiwaku
Tuhan menuliskan namaku dan namamu
dalam lembaran takdir-NYA
Dan selamanya akan seperti itu
Akan ku temani laki-laki brengsekku
sampai ajal menjemput
Gemerincing
tawa terdengar jelas di taman sudut kota sore itu. Dua sejoli yang tengah asyik
memerankan skenario kebahagiaan yang ditulis Tuhan ialah Gigi dan Gio. Semenjak
dipergoki Gigi waktu itu, sekarang Gio berani menampakkan dirinya di depan
Gigi. Tak jarang juga Gio menjemput Gigi di kampusnya.
“Gigi,
aku seneng masih bisa liat senyum cantik kamu” tutur Gio dengan lembut
“Aku
juga. Sebenernya aku sama sekali nggak nyangka bisa ketemu sama kamu lagi Gio.
Apalagi semenjak kamu mutusin ninggalin aku dan jalan sama Na ...”
Ucapan
Gigi terputus, bibir Gio menutup rapat-rapat mulut Gigi. Kini bibir mereka
saling bertautan. Menikmati setiap inchi
kerinduan yang yang menyiksa, penuh dengan hasrat, cinta, dan kasih sayang.
Tak
ada paksaan, Gio memperlakukan bibir Gigi dengan sangat lembut. Mereka menikmatinya,
Gigipun membalas setiap gerakan dari bibir Gio.
“Aku
mencintaimu dan akan selamanya mencintaimu” ucap Gio setelah adegan itu. Ucapan
Gio tersebut membuat cairan bening itu
meluncur bebas tanpa permisi ke pipi Gigi. Gigi terharu dan langsung memeluk
erat laki-laki brengsek yang ada di depannya.
“Aku
juga mencintaimu Gio” balas Gigi dengan bercucur air mata.
***
Gigi
bergegas meninggalkan kelas siang itu, langkahnya semakin cepat. Panik dan
gugup jelas tergambar di paras cantik Gigi.
Gigi
melambaikan tangannya, “taxi”
Cepat-cepat
Gigi masuk ke dalam taxi dan menunjukkan tujuan Gigi kepada sopir taxi. Gigi
seperti itu hukan tanpa alasan, Gigi mendapat sebuah pesan dari orangtuanya Gio
yang memberitahukan bahwa sekarang Gio sedang berada di rumah sakit. Dalam
perjalanan Gigi tampak tidak tenang, air matanya sudah tidak bisa dibendungnya
lagi. Gigi takut terjadi sesuatu hal terhadap Gio.
Di
koridor rumah sakit Gigi berlari danselalu menyebut nama pujaan hatinya “Gio,
Gio, Gio.” Matanya mencari dimana papan bertuliskan “Anggrek No. 108.”
Gigi
membuka pintu ruangan Gio dirawat, “Gigi” panggil Gio
“Gio”
ucap Gigi lirih.” sebenernya kamu sakit apa? Kamu membuat aku khawatir Gio”.
Mungkin ini sudah waktunya kamu tau Gi, “sebenernyaa...”
“sebenernya
apa Gio? Kamu nggak sakit parah kan? Cepet bilang sama aku.” Tanya Gigi yang
semakin panik. Perasaannya semakin takut
“sebenernya..
sebenernya aku ken AIDS Gi” jawab Gio melemah.
Gigi
langsung melepaskan genggaman tangan Gio, Gigi shock. Gigi tidak menyangka akan
hal itu. Langkahnya semakin mundur, menjauh dari ranjang Gio. Dan akhirnya Gigi
pergi meninggalkan ruangan itu. Ia berlari sambil terisak, ia belum bisa
menerima kenyataan ini. Kisahnya bersama Gio yang ia pikir akan berakhir dengan
bahagia, kini hangus sudah.
***
Selama
seminggu Gigi tidak menemui ataupun menjenguk Gio. Gigi ingin mendamaikan hati
dan pikirannya. Dan hari ini ia sudah mendapatkan keputusan yang terbesar dalam
hidupnya. Ia akan tetap bersama Gio walau apapun keadaannya.
“Semangat
Gigi” Gigi menyemangati dirinya sendiri. Dengan langkah ringan membawa Gigi ke
tempat tujuannya, rumah Gio.
“Tingtong..
tingtong.” Bel berbunyi, seorang perempuan paruh baya yang Gigi kenal sebagai
pembantu rumah tangga keluarga Gio. Perempuan paruh baya itupun mempersilahkan
Gigi masuk. Saat Gigi masuk, terlihat Gio sedang menonton tv di ruang tengah
sendirian.
“Gio”
panggil Gigi
Gio
menengok, “Gigi ?”
Gio
tidak menyangka akan kedatangan Gigi,di sisi lain juga Gio bahagia Gigi masih
mau menemui dirinya.
“..”
Gigi berjalan ke arah Gio dan langsung menghambur dalam dekapan Gio. Tangan Gio
pun membalas pelukan Gigi.
Satu
bulan berlalu, Gigi dengan setia menemani hari-hari Gio. Tak ada rasa jijik
atau lainnya yang mengharuskan Gigi untuk berjauhan dengan Gio. Bagi dirinya
Gio tetaplah laki-laki brengseknya yang akan selamanya menghuni hatinya.
Malam
ini Gio mengajak Gigi makan malam. Gigi sudah siap duduk di depan rumahnya
menunggu Gio datang menjemputnya.
“Piip..piippp”
suara klakson mobil sudah berbunyi, itu tandanya Gio sudah datang. Gigi
bergegas keluar.
Malam
ini akan menjadi malam yang paling indah untuk Gigi. Gio sudah menyiapkan makan
malam romantis untuk Gigi.
***
“Huaaaaaa...”
Gigi mengucek matanya. Hari ini Gigi merasa menjadi perempuan yang paling
bahagia di negeri ini. Ia masih terbayang-bayang dengan makan malam romantisnya
dengan Gio. Tiba-tiba “kring..kring..kring” ponsel Gigi berbunyi, tertera nama
Gio pada layar ponselnya.
“..”
belum sempat mengucapkan sepatah katapun, air mata Gigi meluncur keluar.
“Gio
sekarat, sekarang ada di rumah sakit.” Kalimat itulah yang terngiang di pikiran
Gigi.
Setibanya
di rumah sakit Gigi sudah melihat tubuh Gio sudah di tutupi oleh kain putih.
Gio sudah meninggal.
***
Taburan
kembang Gigi persembahkan untuk kubur Gio. Krudung hitam, pakaian hitam, dan
kaca mata hitam tak mau lepas dari tubuh Gigi. Awan mendung menyelimuti
hatinya. Burung-burung yang biasanya berkicau indah kini sepi, tak ada suara.
“Gigi,
boleh tante bicara sebentar sama kamu? Ada hal yang ingin tante bicarakan sama
kamu.” Ibu Gio mengusap lembut pucuk kepala Gigi.
“Gio
terkena AIDS sejak ia putus hubungan dengan kamu. Saat itu Gio tidak mengetahui
kalau ia mengidap AIDS. Malam itu Gio mendadak muntah darah dan segera
dilarikan di rumah sakit. Setelah di cek oleh dokter ternyata Gio mengidap HIV
AIDS. Gio sempat ingin bunuh diri, tetapi hal itu selalu ketahuan oleh kami.
Kami dan para dokter berusaha mengembalikan kondisi psikolog Gio, agar Gio bisa
melanjutkan sisa hidupnya.” Mama Gio berghenti sejenak lalu melanjutkan
ceritanya.
Sementara
Gigi mendengarkan setiap kata yang terucap dadri bibir Mama Gio, Gigi tidak
ingin melewatkan satu katapun dari cerita Mama Gio.
“Setelah
itu, Gio putuskan untuk membicarakan tentang penyakitnya dengan Nana. Gio
berpikir dengan dia bercerita dengan Nana, Gio dapat mendapatkan support dari
Nana. tetapi Gio salah, Nana tidak bisa menerima Giodan penyakitnya. Nana malah
menuduh Gio adalah seseorang yang doyan seks. Dan Nana meninggalkan Gio begitu
saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gio saat itu.”
Hubungan
Gio dan Nana hanya bertahan tiga bulan
saja, selebihnya Gio terpuruk sendiri dengan penyakitnya dan juga penyesalannya
karena sudah menyakiti dan meninggalkan kamu, Gigi. Hingga akhirnya ia
memutuskan untuk selalu mengawasi kamu ketika kamu sedang mengajar, Gio tidak
berani muncul dihadapan kamu. Gio merasa dirinya hina dan kotor.
Lau
Gio mengatakan pada tante, bahwa kamu mau menerima Gio kembali, saat itu Gio
sangat bahagia sekali. Semangat hidupnya berkobar, ia rajin meminum obatnya.
Meskipun Gio tahu kalau penyakitnya tidak akan bisa disembuhkan. Setidaknya itu
bisa memperlambat kematian Gio.
Tante
sangat berterimakasih sama kamu Gi, kamu mau menemani Gio di sisa umurnya.
Meskipun kamu tahu kalau Gio terkena HIV AIDS. Terimakasih Gigi.” Mama Gio
memeluk Gigi dan diakhiri dengan isak tangis di antara keduanya.
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar