Pages

Minggu, 23 November 2014

Biografi Y.B. Mangunwijaya ( Pengarang Novel Durga Umayi )



Related image
Pic: tollelegi.blogspot.com



Yusuf Bilyatra Mangunwijaya atau yang popular dengan nama panggilan Romo Mangun ini merupakan sastrawan yang lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, dari pasangan guru SD Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdaniyah. Nama Bilyatra adalah nama kecilnya, sedangkan Yusuf adalah nama baptisnya dan Mangunwijya adalah nama kakeknya, yang seorang petani tembakau.
Di tengah-tengah masa remajanya Romo Mangun sempat ikut berjuang sebagai prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon X, Kompi Zeni 1945-1946, bahkan ia pernah menjadi komandan Seksi TP Brigade XVII,
Kompi Kedu 1947-1948. Ia ikut terliabat dalam pertempuran di Magelang, Amabarawa, dan Semarang.
Sejarah Pendidikan Romo Mangun diawali pada tahun 1943, ketika ia tamat SD di Magelang, kemudian lulus sekolah Teknik (setingkat SMP) di Yogyakarta tahun 1947, dan lulus SLA di Malang tahun 1951. setelah itu ia menempuh pendidikan sebagai calon imam dengan masuk ke Seminari Menengah di Jalan Code Yogyakarta hingga 1952 dan dilanjutkan di Seminari Menengah Mertoyudhan, Magelang hingga 1953. Kemudian pada tahun 1959, ia tamat studi di Institut Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta. Lalu belajar di Institut Teknologi Bandung jurusan Arsitektur sampai tahun 1960. Tahun 1960-1966 ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Westfalen, Aachen Jerman. Sepulang dari studi di Jerman, ia bertugas sebgai pastor di paroki Salam, Magelang. Kemudian tahun 1978 ia mengikuti Felow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, Amerika Serikat.
Perjalanan karirnya menjadi seorang dosen diawali pada tahun 1967-1980, ia menjadi dosen luar biasa di Jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak 1968 ia mulai aktif menulis kolom di berbagai surat kabar dan majalah. Lalu pada tahun 1980 Romo Mangun berhenti sebagai dosen di UGM(namun sebgai arsitek independent ia terus berkarya), keluar pula sebagai paroki, dan memutuskan tinggal dan berkarya sebagai pekerja social di pemukiman “hitam” Kali Code, Yogyakarta sampai 1986. Tahun 1986-1988 ia berkarya di Grigak Gunung Kidul, mendampingi penduduk setempat dalam program lingkungan hidup dan pengadaan air bersih.
Dalam dunia sastra, kiprah Romo Mangun dimulai dengan cerpennya “Kapten Tahir” yang memenangkan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Program Bahasa Indonesia tahun 1975. Kemudian tahun 1981, terbit novelnya Romo Rahadi. Pada cetakan pertama novel ini Ramo Mangun menggunakan nama samaran Y. Watsu Wijaya. Pada tahun itu juga terbit novelnya yang dalam waktu singkat menjadi sangat terkenal, yaitu novel Burung- burung Manyar. Setelah itu, berturut-turut terbit novelnya Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), trilogy Romo Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985), Durga Umayi (1991), dan Burung-burung Rantau (1992). Menurut Romo Mangun, sebagaimana Burung-burung Manyar, novel-novel itu pada dasarnya mempunyai tokoh satu, yaitu nasion Indonesia yang diwayangkan dalam bentuk cerita dengan took-tokoh pelaku yang terlukis secara naturalis-realis namun sekaligus simbolis dalam berbagai skala abstraksi.
Pada Rabu siang, tanggal 10 Februari 1999, pejuang kemanuasiaan itu yaitu Romo Mangun meninggal dunia di Hotel Le Mendien Jakarta, setalah menyampaikan makalah “Peran Buku demi Kearifan dalam Iptek” dalam symposium Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia.
Penghargaan yang ia pernah terima antara lain adalah Penghargaan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland tahun 1975, Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta untuk buku esai  Sastra dan Religiositas tahun 1982, Hadiah Sastra Asia Tenggara dari Ratu Sirikit, Tahiland tahun 1983, Penghargaan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup untuk Tata Ruang tahun 1983, Penghargaan Sekretariat Nasional untuk Perencanaan dan Perumahhan tahun 1985, Anugerah Kemanusiaan dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tahun 1986, IAI Award tahun 1991 dan tahun 1993, The Aga Khan Award for Archicteture, Samarkand Uzbekistan-Generve, Switzerland tahun 1992, The Ruth and Ralph Ersikine Fellowship Award, Stockhlom, Swedia tahun 1995, Penghargaan seni dan Budaya dan Sastra, Pemerintah DIY tahun 1996, Bintang/ Emas Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi Surakarta untuk Sastra tahun 1996, The Profesor Teeuw Foundation Award untuk sastra kepedulian terhadap masyarakat tahun 1996, Penghargaan Medali Emas, Kalyanekretya Utama untuk Teknologi, Journalistik dan Sastra dari Menristek tahun 1998, serta Bintang Maha Putera Naharya tahun 2000
Romo Mangun merupakan tokoh yang besar kontribusinya dalam perjuangan membangun perdamaian dan persaudaraan antarmanusia tanpa memandang apa pun agama, suku, ras dan identitas-identitas primodial lainnya. Itulah sebabnya yang menjadi kata kunci dalam perjuangan kemanusiaan adalah imam, religiositas, dan bukanlah agama sebagaimana yang kita kenal dalam kamus kesalahpahaman kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar