Judul :
Aku Ini Binatang jalang
Pengarang :
Chairil Anwar
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka
Utama, Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29 – 37, Jakarta
10270
ISBN :
978-979-22-7277-2
Buku kumpulan puisi
berjudul “Aku ini Binatang Jalang” yang dikarang oleh Chairil Anwar ini
merupakan kumpulan puisi sejak tahun 1942 sampai tahun 1949 dengan 80 puisi
beserta 2 puisi saduran . Pada tahun 1942, Chairil Anwar memulai dengan
puisinya yang berjudul “Nisan” dan yang terakhir pada tahun 1949, Chairil Anwar
mengakhiri buku kumpulan puisinya dengan puisi yang berjudul “Aku Berada Kembali.”
Namun adapula catatan kecil dari editor yang terdapat pada halaman ix, di
halaman tersebut editor mengulas tentang
berbagai karya Chairil Anwar yang memiliki banyak versi. Puisi – puisi yang
memiliki banyak versi tersebut antara lain dalam puisi berjudul “Aku” dan
“Sajak Putih.”
Dalam menyusun buku ini, editor berpatokan pada sistematika
Jassin, yaitu puisi – puisinya disusun secara kronologis. Selain itu, dalam
buku ini editor juga menambahkan dua buah sajak saduran yang ada pada halaman
107 – 108 dan juga memuat surat – surat pendek Chairil kepada Jassin yang
dimuat secara lengkap pada halaman 111 yang inti dari surat-suratnya
adalah kemauan Chairil untuk totalitas dalam berkarya sebagai seniman. Kemudian buku ini ditutup dengan bibliografi
mengenai Chairil Anwar dan karyanya serta biografi Chairil Anwar.
Setiap karya Chairil
Anwar yang terdapat pada buku ini, kebanyakan pada setiap puisinya
menggambarkan tentang kehidupannya. Hal tersebut dapat terlihat pada puisi
berjudul “Sajak Putih” dan “Mirat Muda, Chairil Muda.” Dalam kedua puisi
tersebut mengisahkan tentang kisah cinta Chairil dengan Mirat, tunangannya.
Misalnya pada puisi yang berjudul “Sajak Putih” menggambarkan gelora hati ‘Aku’
terhadap seorang gadis yang mencuri hatinya dengan keindahan sore yang
berpelangi. Begitu indah, menyenangkan namun juga mencemaskan karena akan
berakhir senja yang sepi dan gelap. Perasaan cinta dalam sajak putih Chairil
Anwar ini juga disembunyikan dalam kiasan indah. Bagaimana Chairil
mengilustrasikan keindahan cinta dengan kembang mawar yang diharapkan bertemu
dengan ketulusan hati si gadis yang diilustrasikan dengan melati. Sangat indah
dan menarik mencari dan menafsirkan teka-teki romantika cinta di balik puisi
sajak putih Chairil Anwar ini.
Secara umum, ciri
khas dari keseluruhan puisi karya Chairil Anwar ini, tampak pada kata – kata
yang merangkai puisi tersebut. Kata – kata yang digunakan umumnya kata – kata
yang lugas, tidak bertele – tele, dan dekat dengan bahasa lisan serta dapat
menimbulkan imajinasi. Contoh kata – kata yang lugas, tidak bertele – tele dan
dekat dengan bahasa lisan misalnya adalah pada puisi yang berjudul “Kesabaran.”
Dalam puisi tersebut Chairil Anwar memilih kata – kata ‘ngomong’ dan
‘ngonggong’ pada bait kedua. Jika dilihat dalam segi struktur kata, ‘ngomong’
dan ‘ngonggong’ merupakan kata – kata yang berstruktur tidak beraturan. Seperti
kata ‘ngonggong’ biasanya menggunakan kata ‘menggonggong.’ Namun disini Chairil
menggunakan kata ‘ngonggong.’ Secara eksplisit kata tersebut termasuk kata
lugas dan merupakan kata yang terdapat dalam bahasa lisan, yakni kata yang
sering diucapkan namun jarang dituliskan. Selain itu kata
‘nggonggong’ dipilih sebagai kata yang memiliki unsur orisinalitas atau private symbol sehingga menghasilkan poetic power. Atau dapat dikatakan
bahwa kata tersebut memiliki nilai rasa yang lebih baik dalam hal pengucapan
puisi tersebut.
Disamping kata – katanya yang lugas dan dekat dengan bahasa lisan. Kata –
kata yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam setiap puisinya juga dapat
menimbulkan imajinasi – imajinasi bagi setiap pembacanya. Hal tersebut misalnya
dapat terlihat pada puisi yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil.” Dalam puisi
tersebut Chairil menyebutkan kata senja yang berkonotasi pada
suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang
bekerja. Selain itu, kata gudang, rumah tua, kapal dan perahu juga secara
langsung dapat menghidupkan imajinasi pembaca. Pembaca dapat membayangkan
dirinya ada di antara gudang maupun rumah tua serta membayangkan bahwa pembaca
melihat adanya kapal dan perahu yang terdampar di tepi pantai.
Selain
memiliki ciri khas pada kata – katanya yang lugas dan dapat menimbulkan
imajinasi. Chairil Anwar juga memiliki ciri, bahwa pada setiap puisinya tidak
mengandung unsur cengeng. jika puisi tersebut berkisah tentang kesedihan. Ia
akan mengungkapkan rasa sedih tersebut dengan berani dan jujur. Dimana
menunjukkan adanya ketegaran dan keikhlasan yang jantan. Hal tersebut dapat
dilihat misalnya pada puisinya yang berjudul “Penerimaan.” Dalam puisi tersebut
Chairil Anwar secara sekaligus ingin menunjukkan kesedihan, kegembiraan,
ketulusan, ketegaran, keberanian serta kejujuran. Dan makna dari puisi tersebut
adalah bahwa Chairil dapat menerima kembali mantan kekasihnya yang telah
meninggalkannya. Meskipun mantan kekasihnya tersebut bukan seperti yang dulu.
Namun dalam penerimaan tersebut, Chairil juga menunjukkan keberanian dan
kejujurannya yang dapat terlihat pada kalimat jangan tunduk Tantang aku dengan berani, kalau kau mau kuterima kau
kembali, untukku sendiri tapi . di kalimat tersebut Chairil menyebutkan
bahwa ia mau menerima kekasihnya kembali namun ia tak mau jika hati kekasihnya
harus berbagi. Karena ia ingin cinta dari kekasihnya itu hanya ditujukan
kepadanya. Jadi dalam puisi “Penerimaan”
Chairil Anwar menunjukkan tentang kesedihan dan ketegaran Charil karena
pengkhianatan cinta. Namun ia bahagia karena kekasihnya kembali. Dan ketulusan
atau keikhlasan Chairil untuk menerima kembali kekasihnya. Serta keberanian dan
ketulusan Chairil untuk menyatakan bahwa cintanya tidak untuk dibagi.
Meski
kebanyakan puisinya selalu bercirikan menggunakan bahasa yang lugas dan
keberanian untuk mengungkapkan segala sesuatu. Namun sebenarnya dibalik semua
itu, tersimpan pesan yang mendalam dengan kejujuran yang berani diungkapkan
secara gamblang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar