Judul :
Mangir
Pengarang :
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : KPG ( Kepustakaan
Populer Gramedia ) Palmerah Selatan 21 Jakarta 10270
ISBN :
979-9023-40-8
Buku naskah drama
Mangir ini merupakan naskah drama yang mengangkat persoalan mengenai masalah dari
sebuah kerajaan. Inti dari cerita
Mangir ini adalah sebuah peperangan. Tokoh – tokoh dalam cerita Mangir ini
adalah sebagai berikut :
Ø Wanabaya (Ki Ageng Mangir) 23 tahun
Ø Pembayun (putri Adisaroh) 16 tahun
Ø Suriwang 50 tahun
Ø Kimong 30 tahun
Ø Tumenggung Mandaraka 92 tahun
Ø Ki Ageng Pamanahan 90 tahun
Ø Pangeran Purbaya 20 tahun
Ø Tumenggung Jagaraga 35 tahun
Ø Panembahan Senapati 45 tahun dan
Ø Demang Pajang 42 tahun.
Latar
belakang dari kisah Mangir karya
Pramoedya Ananta Toer ini adalah keruntuhan
Majapahit pada tahun 1527, akibat dari keruntuhan Majapahit, kekuasaan tak
berpusat tersebar di seluruh daerah Jawa yang menyebabkan keadaan kacau balau.
Perang terus terjadi untuk merebut kekuasaan tunggal, perang tersebut tentu
saja menjadikan Pulau Jawa bermandikan darah. Sehingga yang muncul di Jawa
adalah daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak
mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan
sistem demokrasi desa, dengan penguasanya yang bergelar Ki Ageng.
Adalah Ki Ageng
Pamanahan menguasai Mataram dan mendirikan Kota
Gede pada 1577. Kemudian Panembahan Senapati, anak Ki Ageng Pamanahan naik
menjadi Raja Mataram.
Saat bersamaan
muncul pula sebuah daerah Perdikan Mangir dengan
pemimpinnya atau biasa disebut tua Perdikan yang bernama Ki Ageng Mangir
Wanabaya seorang pemuda gagah dan berani beserta saudara angkatnya yang bernama
Baru Klinting. Tak hanya berdua, Perdikan Mangir memperoleh bantuan dari
beberapa orang demang yang masing-masing memiliki daerah kekuasaan pula. Demang
Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan adalah
orang-orang yang setia selalu membantu Wanabaya.
Suatu hari Perdikan Mangir di bawah komando
Wanabaya berhasil memukul mundur pasukan Mataram yang hendak menyerang dengan
siasat perang Ronggeng Manggilingan. Setelah perang kecil tersebut usai,
Wanabaya bersukaria dengan menari bersama wanita ronggeng keliling yang bernama
Adisaroh. Adisaroh adalah seorang wanita yang sangat cantik sehingga membuat
Wanabaya tak mampu melepaskan pandangannya dari Adisaroh yang lama kelamaan membuatnya jatuh hati kepadanya.
Lain halnya
dengan Wanabaya, para demang dan Baru Klinting justru sibuk berdebat sengit
akan tingkah laku Wanabaya yang menurut Demang Patalan dan Demang Pandak tidak
sepatututnya dilakukan oleh seorang tua Perdikan. Sebaliknya Demang Jodog dan
Demang Pajangan justru membenarkan apa yang dilakukan oleh Wanabaya, sementara
itu Baru Klinting hanya bisa menjadi penengah antara kedua kubu yang berseteru.
Baru Klinting
yang pandai bersilat lidah akhirnya memutuskan untuk menghadapkan Wanabaya
beserta Adisaroh ke hadapan para demang. Mereka menuntut Wanabaya agar dapat bersikap bijak layaknya sebagai seorang tua
Perdikan, bukannya malah mabuk sambil menari-nari bersama Adisaroh seusai
perang. Bukan kepalang kekesalan Wanabaya, akhirnya di hadapan seluruh demang
termasuk ayah Adisaroh Tumenggung Mandaraka, ia menyatakan rasa cintanya kepada
Adisaroh dan hendak mempersuntingnya. Tak ada pilihan bagi Adisaroh untuk menolak
begitu juga dengan para demang yang tak dapat membendung hasrat Wanabaya muda.
Tak henti
sampai di situ, Baru Klinting tetap memberi wejangan dan nasihat kepada
Wanabaya akan keputusan yang telah ia ambil. Dengan atau tanpa Adisaroh
Wanabaya tetap harus menjadi orang yang paling setia dan cinta pada Perdikan
Mangir serta tidak akan melemah pendirian. Tetap gagah berani dan terus maju
melawan Mataram sebagai seorang setiawan.
Akhirnya
Pambayun mengatakan yang sesungguhnya kepada Wanabaya bahwa sebenarnya dirinya
adalah Putri Pambayun anak putri dari Panembahan Senapati dan Tumenggung
Mandaraka tak lain adalah penasihat Mataram yaitu Ki Juru Martani. Bukan main kesalnya Wanabaya yang ternyata selama ini telah
dibohongi oleh isteri tercintanya sendiri, sambil bersujud menangis Pambayun
meminta maaf dan menyatakan rasa penyesalan dan bersalahnya. Apa daya wanabaya
yang telah naik pitam tak kuasa menahan amarahnya dan terus menggerutu menungu
kedatangan Baru Klinting yang mungkin bisa menenangkannya.
Hari kunjungan
yang dinanti telah tiba, inilah saatnya wanabaya dan Pambayun beserta seluruh
bala tentara Mangir menuju Mataram. Di lain pihak Panembahan Senapati, Ki Ageng
Pamanahan, dan Ki Juru Martani sudah tak sabar menunggu menantunya Wanabaya
menghadap. Ketika tiba di Mataram bala tentara Mangir langsung menyerbu Mataram
dengan segenap kekuatan yang ada. Wanabaya dan Baru Klinting pun ikut menyerbu
Mataram dan langsung menuju ruang pertemuan untuk menghujamkan kerisnya kepada
Panembahan Senapati. Ketika hendak berlari menghujam kan kerisnya, Wanabaya
ditikam dari belakang oleh Pangeran Purbaya yang merupakan kakak dari pambayun.
Begitu juga dengan Baru Klinting, setelah menangkis serangan demi serangan
akhirnya ia pun tewas oleh tikaman tombak Panembahan Senapati. Tak hanya mereka
berdua, Ki Ageng Pamanahan ayah dari Panembahan Senapati pun tewas saat itu
juga. Berakhirlah sudah perjalanan Perdikan Mangir di tangan Mataram, hanya
tersisa Pambayun yang tengah bersedih sanbil memeluk jasad suami tercinta sang
Tua Perdikan Mangir Wanabaya sambil terus berkata sendiri tanpa arti.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar