Keadilan Tuhan untuk Dio
Oleh Yeni Alfiani
Cinta kasih
keluarga, aku merindumu
Dapatkah kau
hadir sedetik saja tuk menyapaku
Melukis senyum
di bibirku
Setidaknya agar
aku bisa bercerita kepada mereka bahwa aku pernah bahagia
YA, bahagia
Setiap pagi jam bekerku selalu berbunyi.
“Prangg ... pranggggg ..”
Indah bukan suaranya ? Sungguh indah tidak ada
duanya. Terima kasih Tuhan. Aku selalu mensyukurinya, karena bagiku apapun yang
Tuhan kasih adalah rahmat yang patut kita syukuri. Kami adalah keluarga yang
BAHAGIA, DULU.
Ingat ya kawan, DULU ! sebelum kejadian itu
mengoyak-ngoyakan kebahagiaan keluarga kami. Seketika istana yang dibangun
dengan megahnya, ambruk begitu saja.
Aku turun dari tempat tidur menuju kamar mandi.
Setelah selesai, aku menuju meja makan untuk sarapan. Di sana sudah ada kedua
orangtuaku dan adik laki-lakiku yang sudah rapi dengan seragam putih-merahnya.
“pagiii” salamku bersemangat untuk mencairkan
suasana di sana. Beginilah suasana keluargaku, tidak peduli pagi, siang, sore
atau malam. Tak ada bedanya, menegangkan. Hanya adikku yang menjawab.
“pagi kak Dila” jawab Dio tanpa menoleh.
Akupun langsung duduk di sebalah Dio, dan mengambil
sehelai roti dengan olesan selai coklat di atasnya. Aku mencoba menikmati sarapan
pagiku, meskipun sebenarnya aku merasa risih dengan suasana yang seperti ini,
hening, kaku, dan canggung.
“Ma, Pa, aku berangkat sekolah dulu ya.” Pamitku
“Dio, ayok mau bareng sama kakak nggak?” tawarku
kepada Dio dan dijawab dengan sebuah anggukan dari Dio.
***
“Dila, Dio.” Teriak mama. “Sini sayang, kita makan
dulu. Mainnya nanti lagi.” Lanjut mama.
Aku yang sedang bermain kejar-kejaran dengan Dio,
langsung berhenti dan menghampiri Mama dan Papa yang sudah menunggu dengan
berbagai macam makanan dan minuman.
“wah wah wah, banyak sekali Ma makanannya. Kebetulan
nih, perut Dila laper banget, hehe.” ucap Dila sambil mengelus-ngelus perutnya
yang kelaparan.
Ucapan Dila mendapat respon menggemaskan dari Dio,
“jangan dihabisin semua loh ya, nanti Dio nggak kebagian.” Mendengar itu, aku,
mama, dan papa tertawa gembira. Begitu hangat keluarga ini.
Terima kasih
Tuhan, rahmatmu begitu luar biasa
Kini, aku baru
menyadari betapa adilnya diri-Mu
Kebahagiaan yang
dulu kau titipkan, kau rebut kembali
“tok.. tok.. tok” ketukan pintu menyadarkanku dari
bayang-bayang masa lalu. “siapa?” tanyaku. “Dio kak.”
“Oh Dio, ya tunggu sebentar.” Aku membuka pintu
kamarku “cklek” ada apa Dio? Tumben siang-siang gini kamu ke kamar kakak.
Biasanya juga kamu tidur siang.”
“Dio nggak bisa tidur kak,
mama sama papa berantem terus. Dio pusing.” Keluh Dio. Sakit. Itu yang sekarang
aku rasakan. Aku mencoba tersenyum dan memberi pengertian kepada Dio. “mama
sama papa nggak berantem sayang, mereka lagi diskusi aja kok. Mungkin karena
papa baru pulang kerja, makanya suara papa agak tinggi. Jadi kedengaran seperti
orang yang lagi berantem.” Jawabku berbohong kepada Dio. Aku kasihan terhadap
Dio, belum saatnya Dio mengetahui kejadian yang sebenarnya. Aku takut akan
mempengaruhi mental dan kepribadian Dio nantinya.
“yaudah, Dio tidur sama kak Dila aja yuk. Dio pasti
ngantuk, kak Dila juga ngantuk nih. Hoaammmm.” Aku berpura-pura menguap agar
Dio melupakan tentang yang barusan Dio tanyakan.
***
“Dila, hari kamu ada acara nggak?” tanya Fani, teman
sekelas Dila.
“ada Fan, kenapa ya?”
“Mmmmm.. pasti mau ke panti asuhan ya?” tebak Fani.
Dila hanya mengangguk.
Sejak SMP, aku memang suka mengunjungi panti asuhan.
Awalnya aku tidak begitu suka tempat itu, tapi karena mama dan papa sering
mengajakku dan Dio ke panti, jadi sudah terbiasa. Mama dan papa mengajarkanku
bahwa hidup itu harus saling berbagi. Itu tandanya kita mensyukuri atas apa
yang telah Tuhan berikan.
Mama juga selalu mengadakan baksos untuk anak-anak
yatim bersama teman arisannya. Rasa sosial mama itu, menurun kepadaku. Di
sekolah aku mengikuti ekstrakurikuler baksos, dan itu mendapat dukungan penuh
dari mama dan papa.
“oh yaudah deh, kalau gitu, gampang aku minta anter
Sari aja, hehe.”
“kamu pasti mau anter buat beli buku ya Fan? Aduh,
maaf ya. Aku selalu nggak bisa kalau kamu mau minta anterin. Tapi, kamu selalu
ada kalau aku sedang membutuhkan bantuan kamu.” Dila terlihat sangat menyesal.
“nggak apa-apa, Dila. Jangan gitu ah, aku nggak
suka. Kita kan sahabat. Yaudah, aku jalan dulu ya? Sari sudah menunggu di depan
gerbang. Dah.”
***
“Aku pu ..”
Beleum selesai kalimatku, Kembali aku dengar
kejadian saling menyalahkan itu. Muak.
“kok gara-gara mama? Bukannya ini semua karena
kebodohan papa. Mau-maunya aja ditipu.” Mama menyalahkan papa, tidak mau kalah
papa pun mencari kesalahan mama.
“kalau papa tau dia adalah penipu, papa nggak akan
menginvestasikan saham papa ke dia. Lagian mama juga mendukung keputusan papa
waktu itu.”
**
Aku langsung masuk kamar dan mengunci rapat-rapat
kamarku. Beruntung hari ini Dio menginap di rumah nenek. Setidaknya Dio tidak
mendengar pertengkaran antara mama dan papa.
Aku menangis dalam dekapan bantal.
Tuhan
Bisakah kau
ambil pendengaranku dalam waktu ini ?
Dan
mengemablikannya ketika keluarga ini kembali melantunkan ayat-ayat kebahagiaan
?
Batinku
***
Aku sudah memutuskan agar Dio tinggal bersama nenek
dan kakek di desa. Aku takut jka Dio tetap tinggal di sini, dia akan mengetahui
permasalahan di antara mama dan papa. Aku tidak mau, jika Dio menghabiskan masa
kecilnya di tengah-tengah keluarga yang acak marut seperti ini. Aku tidak mau
ketika Dio beranjak dewasa, Dio menjadi anak nakal akibat broken home. Aku sedikit lega sekarang, setidaknya dengan Dio
tinggal di desa bersama nenek dan kakek, perilakunya tidak seperti anak-anak
kota yang identik dengan pergaulan bebas.
“..”
Akhir-akhir ini aku sering melihat ibu-ibu dekat
rumah berbisik-bisik ketika aku lewat. Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang
mereka bisikan. Aku pura-pura tidak mengetahuinya, dan berlalu begitu saja.
Aku bekerja part
time di sebuah toko roti dekat sekolahku. Ini semua aku lakukan untuk
membantu perekonomian keluarga dan juga Dio. Walau bagaimanapun Dio membutuhkan
biaya untuk kehidupannya di sana. Meskipun nenek dan kakek menyanggupi biaya
hidup Dio, tetapi sebaga seorang kakak, aku mempunyai tanggung jawab atas
hidupnya Dio.
Mama bekerja di butik sahabatnya. Sedangkan papa,
entahlah ..
Aku bingung menjelaskannya.
Di pagi hari, papa selalu berpamitan untuk mencari
pekerjaan. Pulang malam. Jika di tanya mama “papa sudah mendapatkan pekerjaan?”
papa selalu marah-marah tidak jelas. Dan langsung membanting pintu kamarnya.
Aku menghampiri mama dan memeluknya. Aku merasakan
betapa beratnya beban yang di pikul mama. Aku ingin menangis dalam pelukan
mama. Tapi air mata ini, aku cegah. Aku tak mau menangis di depan mama. Aku
ingin menjadi anak yang tegar di depan mama, meskipun sebenarnya aku rapuh.
“mama sabar ya, Dila ada di sini. Dila janji akan
mempersatukan kembali keluarga kita, seperti dulu. Dila janji ma.” Pelukanku
semakin erat, mama tidak bisa menahan air matanya. Mama menangis. Oh Tuhan, aku
tidak bisa melihat mama menangis.
***
Dua bulan terakhir, aku sering menemui Pak Ustadz
dekat rumahku. Kebetulan beliau adalah guru ngaji aku dan Dio. Aku menceritakan
keadaan keluargaku sekarang, sekaligus meminta nasehat agar aku bisa
mempersatukan mama dan papa. Kata Pak Ustadz segala cobaan pasti ada hikmahnya.
Dan Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Aku
percaya akan hal itu, tetapi aku juga manusia biasa. Putus asa kadang datang
menghampiri, aku ingin acuh dan pura-pura tidak tahu. Tapi aku tak bisa.
Seperti nasehat Pak Ustadz, setiap malam aku bangun
menunaikan sholat malam. Aku berdoa kepada Tuhan agar mengembalikan kebahagiaan
keluargaku. Selalu seperti ini, ketika berdoa aku tidak bisa membendung air
mataku. Aku selalu menangis memohon kebahagiaan untuk keluargaku, untuk aku,
Dio, mama, dan papa.
**
Hari berganti, sikap papa menunjukkan perubahan.
Meskipun belum sepenuhnya, aku senang. Setidaknya setiap pualang kerja, papa
tidak marah-marah kepada mama.
“Papa pulang” ucap papa ketika memasuki rumah.
Di ruang tamu, sudah ada mama yang menunggu. Mama
menciuum tangan papa. Sungguh pemandangan yang aku rindukan. Sudah lama sekali,
mama dan papa tidak seperti itu. Aku tersenyum melihatnya. Bahagia sekali.
“papa mau makan dulu atau mandi?” tawar mama. “mandi
dulu aja deh ma, biar seger.” Jawab papa.
Aku sengaja mengintip momen mereka di balik pintu
kamarku. Pintu kamar aku tutup dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan efek
suara yang bisa menganggu momen bahagia mereka.
“yaudah, mama siapkan air panas dulu, papa tunggu
sebentar.” Mama berlalu.
Sedang aku berjingkrak-jingkrak di kasur miniku.
Bahagia. Itulah yang aku rasakan sekarang.
Setelah sekian lama papa menjadi seorang
pengangguran, akhirnya papa mendapatkan pekerjaan juga. Sekarang papa menjadi
staf di salah satu perusahaan swasta
milik rekan bisnisnya dulu. Konflik dalam keluarga hari demi hari
memudar dengan sendirinya. Kini, aku, mama, dan papa bersama-sama sedang
berusaha membangun bisnis keluarga untuk menopang biaya kehidupan kami yang
kian mencekik.
“ma, pa. Dila seneng bnaget deh, bisa liat mama dan
papa rukun lagi. dulu, dila takut kalau mama dan papa akan berpisah gara-gara
masalah ekonomi. Dila takut banget.” Ucap Dila
Mendengar akuan Dila, mama dan papa merasa bersalah
dan menyesal.
“maafkan mama dan papa ya sayang. Kami sebagai
orangtua tidak selayaknya bersikap seperti itu di depan kalian.” mama menjawab.
“iya sayang, maafkan kami yanak. Papa janji akan
mengembalikan keluarga kita seperti dulu. Papa janji Dila.” Papa menambahkan
“nggak harus mhidup mewah kaya dulu lagi kok ma, pa.
Hidup sederhana seperti ini saja, Dila juga seneng. Yang penting, Dila, Dio,
mama, dan papa bisa sama-sama terus.” Ucap Dila dan langsung di peluk mama dan
papa.
Dila menghapus air maat bahagianya.
“Oh ya ma, pa, kapan kita menjemput Dio di rumah
nenek? Dila udah kangn banget sama Dio.” Ucap Dila dengan antusias.
“segera” jawab papa dengan singkat dan tegas. Aku
tersenyum mendengarnya.
Keluarga adalah
rahmat Tuhan yang paling berharga
Terima kasih
Tuhan
*TAMAT*
terima kasih :)
BalasHapus