Separuh
Baya
Oleh: Alfina Iftihani
“Berapa
ini, Mbah?” Terdengar suara
sayup-sayup diantara ributnya motor yang bekeliaran di jalan depan rumahku. Di
sana aku melihat Ibuku tengah mengobrol dengan seorang nenek separuh baya yang
kulitnya sudah tak kencang lagi.
“Aku
kasih harga 5000 ya, Bu. Itu sudah harga pas, terserah Ibu mau menawar berapa.
Hehehe.” Senyum nenek itu keluar lebar dari bibirnya.
Sedari
tadi kuamati mereka berdua dari balik jendela rumah. Wajah Ibuku dan nenek
separuh baya tersebut terlihat jelas tanpa terbayang-bayang oleh noda sedikit
pun. Ya, itu karena kaca jendelaku telah ku lap seharian lalu.
Wajah
Ibu dan nenek tersebut seketika pudar menjadi bayang-bayang semu. Aku melihat
diriku sendiri seolah-olah ikut mengobrol bersama ibuku dan nenek separuh baya
tersebut di depan rumah.
“Nak.....ambilkan
Ibu dompet di kamar, ya.” Pikirku suara siapa yang memanggilku keras sekali
itu. Ku tatap muka kedua orang di balik jendela yang sedari tadi aku amati.
Tampak bayangan Ibuku melambai-lambai. Ternyata Ibuku yang berteriak dan
menyuruhku untuk mengambil dompetnya di meja kamar.
“Iya,
Bu. Ini saya ambilkan.” Jawabku segera setelah aku terbangun dari lamunanku.
“Ibu
tadi membeli apa?” Tanyaku pada Ibu seketika setelah Ibu masuk ke dapur,
Ibu
hanya tersenyum.
“Itu
tadi ada Mbah yang menggendong bakul
sayurnya. Beliau menjual sayur di pasar. Namun, tadi sayurnya masih, jadi
beliau menjajaki jualannya dengan jalan kaki dan berteriak.” Jawaban Ibu
berhenti karena napasnya yang tersendat. Dengan sigap, aku pun mengambilkan Ibu
segelas air minum.
“Saat
ibu di dapur, ibu mendengar suara teriakan yang cukup lirih. Pas Ibu keluar,
ternyata Mbah tadi sudah berdiri di halaman
rumah. Yasudah, ibu suruh duduk saja. Sayurnya juga masih bagus-bagus kok,
Nak.” Lanjut Ibu menjawab sambil merajang bawang.
Jawaban
ibu tadi membuatku melamun lagi tentang nenek tersebut. Pikirku, kok ada ya
nenek yang seharusnya pensiun dalam bekerja, tetapi masih bekerja, apalagi
kerjanya cukup melelahkan. Ya, menjajaki setiap jalan sambil menggendong bakul
sayur. Langkahnya pun sudah tertatih-tatih. Yang lebih tidak aku percaya,
ternyata nenek tersebut sudah berjualan di pasar terlebih dahulu. Kata Ibu sih,
nenek itu ke pasar dari setelah Subuh benar, dan tetap dengan berjalan kaki.
Dalam benakku, kemana cucu-cucunya sampai mebiarkan nenek separuh baya itu
berjalan kaki mencari nafkah sendiri. Atau mungkinkah nenek tersebut tak
mempunyai anak, sehingga tak mempunyai cucu. Atau dulu saat mudanya, nenek itu
belum sempat menikah, sehingga tak bisa punya anak? Entahlah, aku hanya bisa
memikirkan hal tersebut sendiri. Karena tak mungkin aku menanyakan hal konyol
ini secara langsung kepada nenek itu.
“Kalau
Ibu dipanggil, Ibu keluar ya. Ibu beli sayurnya. Kalau bisa ya Ibu beli
semuanya. Hehehe.” Sahutku pada Ibu dengan mata tak berkedip dan sedikit
melamun.
“Ibu
juga merasa iba, Nak, dengan nenek itu. Kalau Ibu bisa bantu, ya pasti Ibu
bantu. Akan tetapi, kalau untuk membeli semua sayuranya, ya itu tidak mungkin.
Kalau Ibu sudah ada persediaannya di dapur, pastinya Ibu tak akan membelinya.”
Jawab Ibu dengan suara pelan karena tengah konsentrasi dengan bawang yang
sedang dirajangnya.
Aku
terdiam sejenak. Dalam batinku, Ibu benar juga. Keuangan kita juga tak setebal
para pejabat. Aku mengerti keadaan ibu. Beliau harus menghemat untuk biaya
sekolah anak-anaknya juga.
“Bu,
kenapa para koruptor tak melihat kalau masih banyak orang susah di bumi ini.
Buktinya nenek setua itu aja masih bekerja, Bu. Kalau sampai hal tersebut
terjadi, berarti kan keluarganya benar-benar membutuhkan uang, Bu.” Celotehku
dengan geram karena memikirkan para koruptor yang terawa-tawa di layar
televisi.
“Kamu
tanya Ibu, lalu Ibu tanya siapa, Nak? Mereka itu sudah dibutakan mata hatinya.
Sudahlah, biar Allah yang membalasnya kelak, Nak. Yang terpenting kamu tidak
menjadi penerus yang jahat seperti itu.” Ujar Ibu kepadaku sambil
menunjuk-nunjuk hidungku dengan jari telunjuknya.
“Orang
yang korupsi itu, Nak, biasanya tidak pernah merasakan hidup susah. Kalau dulunya
pernah miskin dan susah, pastinya dia tak akan berani mencuri uang rakyat.”
Lanjut Ibu berbicara dengan penuh nasihat kepadaku.
***
Keesokan
harinya, aku melihat nenek separuh baya itu berjalan kaki di depan rumahku.
Masih saja kulihat langkah nenek tersebut dari balik jendela. Beliau langsung
membuka pagar rumahku dan berdiri di pekarangan rumahku. Suara lembut dan lirih
pun keluar dari bibir beliau.
“Bu,
beli sayur, Bu.” Teriak nenek dengan nada setengah oktaf saja. Namanya juga
nenek separuh baya, tentunya suaranya tak akan sekeras suara anak muda seperti
aku.
“Nak,
ambilkan Ibu dompet di kamar.” Teriak Ibu.
Seperti
biasa, ibu memang selalu menaruh dompetnya di kamar. Kata beliau, supaya uang
di dalam dompetnya tidak hilang karena orang yang bertamu tak akan masuk ke
kamar begitu saja. Dulu, uang ibuku selalu hilang saat dompetnya ditaruh di
dapur. Kalau ada orang yang masuk ke rumah, kan ibuku tidak akan tahu kalau
tidak lagi berada di dapur. Untuk itu, ibuku waspada selalu saat ini.
***
Aku
pun melangkahkan kakiku ke pekarangan rumah. Aku lalu memberikan dompet kepada
ibuku. Aku melihat jajanan di dalam gerobak nenek separuh baya ini. Seketika
aku duduk bersama-sama dengan ibuku dan nenek itu lalu aku berbisik pada ibuku
untuk membelikan aku jajanan itu. Biasanya, ibu selalu memberi wejangan
kepadaku agar tak jajan terus. Namun, kali ini ibu diam.
“Anak
cantik. Ini putrimu ya, Bu?” Tanya Si nenek pada ibuku.
“Iya,
Mbah. Masak anak kayak gini dibilang
cantik Mbah? Haha.” Tawa lepas Ibuku
keluar dari mulutnya. Aku hanya merengut saja.
“Mbah, ini berapa?” Tanyaku pada Si
Nenek.
“Itu
seribuan, Nduk.” Jawab Si nenek
sambil tersenyum.
Aku
pun membalas senyum nenek itu. Kulirik ibuku tanda kalau aku ingin dibelikan
jajan tersebut. Tanpa kode apapun, Ibu langsung bilang “Iya, ambil saja
sesukamu.” Aku langsung melonjak kegirangan.
“Ini
berapa, Mbah, semuanya?” Tanya ibu
sambil menyodorkan semua belanjaan termasuk jajananku.
“12.000,
Nak.” Jawab Si nenek dengan senyum lebar.
Pikirku,
ibu belanja cukup banyak, tetapi kenapa murah sekali? Ah aku hanya anak kecil
yang tak tahu apa-apa tentang harga sayuran. Aku pun beranjak ke dalam rumah.
Ibu masih di pekarangan rumah bersama nenek separuh baya itu.
Aku
mendengar percakapan ibu sekilas, tetapi hanya samar-samar terdengar karena gemuruh
suara motor yang cukup keras di jalan raya depan rumahku.
***
“Tadi
Ibu bicara apa saja sama nenek itu?” Tanyaku segera setelah melihat ibu masuk
ke dalam rumah dengan belanjaan di tangannya.
Ibu
tersenyum dulu sambil menaruh belanjaannya di dapur. Aku mengikuti ibuku ke
dapur. Namun, ibuku malah berjalan lagi menuju ruang televisi. Aku pun
mengikuti ibuku kemanapun beliau berjalan, karena aku penasaran dengan apa yang
dibicarakannya bersama nenek tadi.
“Ada
apa. Nak?” Tanya ibu kepadaku setelah duduk di ruang televisi.
“Ibu
tadi bercakap-cakap tentang apa dengan nenek itu?” Tanyaku penasaran.
“Tadi
Ibu tanya, nenek punya cucu tidak? Lalu neneknya menjawab iya punya.” Belum
selesai ibu bicara, langsung saja aku sahut dengan kesal.
“Lha
kok cucunya tega sekali, Bu, membiarkan nenek separuh baya seperti itu bekerja
sendiri, jalan kaki sejauh itu demi mencari uang. Apa tidak ada yang mencari
nafkah dalam keluarganya?” Ucapku dengan ketus.
Ibu
kaget melihat aku semarah ini.
“Tunggu
dulu, Nak. Kan Ibu belum selesai bicara.” Potong ibu dengan nada pelan.
Ibu
melanjutkan pembicaraannya. “Nenek ttadi itu memang mempunyai cucu, tetappi
anak dan cucunya merantau semua. Beliau hanya memiliki 2 anak. Kedua anaknya
pergi ke kota karena ikut dengan suaminya.”
“Jadi
kedua anaknya itu putri, ya, Bu?” Tanyaku dengan halus dan tak ketus lagi.
“Iya.
Kedua putrinya itu selalu memberi uang saat pulang ke rumah, tetapi nenek juga
harus tetap bekerja, sebab suaminya menderita sakit keras.” Tegas ibu kepadaku.
“Memangnya
sakit apa, Bu?” Tanyaku penasaran.
“Sakit
stroke, Nak. Namun, masih dalam perawatan agar sembuh total. Dulunya parah
sekali, tetapi sekarang sudah mendingan, kata nenek tadi.” Jawab ibu.
“Anaknya
memang memberi uang yang cukup setiap pulang ke rumah, tetapi uang tersebut
selalu ditabung nenek untuk biaya perawatan kakek. Lha untuk makan mereka
sehari-hari, nenek mengandalkan penghasilannya dari jualan sayur.” Tegas Ibu
kepadaku.
“Bu,
kalau nenek itu lewat di depan rumah lagi, Ibu harus membeli dagangannya, ya.
Supaya nenek itu punya penghasilan lumayan, Bu.” Pintaku iba.
“Ibu
juga kasihan, Nak. Tadi Ibu sudah pesan pada nenek untuk selalu mampir ke sini
kalau dagangannya di pasar masih ada. Tadi juga Ibu tolak kembalian uangnya.”
“Maksudnya,
Bu?” Tanyaku heran.
“Tadi
kan Ibu beli sayur sama jajan kamu 12.000. Nah, tadi Ibu kasih uang 15.000.
saat mau diberi kembalian, Ibu tolak, Nak. Ibu merasa kasihan dengan nenek
itu.” Jawab ibu dengan iba juga.
Ibuku
sama sepertiku, selalu iba apabila melihat orang yang sudah separuh baya tetap
mencari nafkah bagi hidupnya. Namun, apalah daya, ibu hanya bisa menolong
sebatas itu saja. Ya, menolak uang kembalian saat membeli sayuran dari nenek
itu. Itupun tidak seberapa.
***
“Wah
tidak usah repot-repot, Mbah. Ini
untuk jualan Mbah saja.” Tolak ibu
kepada Si nenek separuh baya.
“Tidak
apa-apa, Nak. Ini untuk lauk kamu dan anakmu.” Paksa nenek pada ibu.
Saat
itu memang nenek datang lagi ke rumah. Seperti biasa, beliau duduk di
pekarangan rumah. Kali ini nenek membawa ikan segar yang katanya sebagai hadiah
kepada ibuku karena sudah baik pada nenek.
Namun, ibuku menolak. Kalau pun aku jadi ibuku, aku juga akan menolak.
Namn, nenek memaksa. Bhkan beliau mengancam tidak akan ke sini lagi kalau
permintaannya tak dituruti. Pikirku dan pikir ibuku, kalau nenek tak ke sini
lgi, bagaimana kami bisa membantunnya? Akhirnya kami menerima ikan segar
pemberian dari nenek.
“Kalau
seperti ini nenek jadi senang berkunjung ke rumahmu, Nak.” Sahut nenek kepada
kami.
“Sebentar
ya, Mbah.” Tiba-tiba ibu masuk ke
rumah.
Aku
penasaran apa yang akan diambil ibu di dalam rumah. Ternyata ibu mengambil
sebuah binngkisan yang di dalamnya berisi wingko babat. Ya, kemarin memang ibu
mendapatkannya dari Pakde yang
rumahnya di Tuban.
“Tidak
usah sungkan ya, Mbah. Ini untuk Mbah.” Ibu memberi bingkisan wingko
tersebut pada Si Nenek. Dan Alhamdulillah
beliau mau menerimanya,
Nenek
terharu menerima bingkisan wingko darri ibu. Matanya berkaca-kaca, tetapi air
matanya seolah-olah ditahan agar tak menetes di depan kami. Aku pun ikut
terharu menyaksikan kejadian ini. Hati seorang nenek yang sangat lembut dan
tulus.
Pikiranku
seketika melayang-layang. Sempat terpikir untuk tak membiarkan ibuku
ontang-panting sendiri di waktu tuanya nanti. Sebentar terpikir juga kalau aku
tak akan merantau agar ibuku dapat ku urus sendiri di rumah. Kalu pun aku
diberi rejeki lebih, ingin rasanya kubantu nenek separuh baya itu di setiap
langkahnya.
***
“Mbah pamit ya, Nak. Besok InsyaAllah Mbah ke sini lagi.” Pamit
nenek kepada kami.
“Kalau
bisa sesering mungkin datang kemari, ya, Mbah.
Kami tunggu selalu. Hehehe.” Sahut ibu dengan senyuman lebar di bibirnya.
“Mbah, rumah Mbah dimana?” Tanyaku kepada Si Nenek yang mulai menggendong
bakulnya di pinggang,
“Mbah rumahnya di dekat sini kok, Nak. Di
desa sebelah. Mbah pamit dulu ya.” Pamit Si Nenek dengan langkah tertatih.
“Assalamualaikum.” Salam Si Nenek
“Waalaikumussalam, Mbah.” Jawab serentak
aku dan ibu.
***
Pagi
ini, ibu belum memasak. Nenek belum juga mampir ke rumah, jadinya ibu belum
belanja. Pikirku dan ibuku, mungkin jualannya nenek sudah habis di pasar. Alhamdulillah. Namun, keesokan harinya lagi bahkan
sampai seminggu ternyata nenek tak pernah lagi mampir ke rumah.
“Jangan-jangan ibu mengucapkan kata yang kurang
berkenan pada Si Mbah ya?” Tanyaku
pada ibu yang mengamati keadaan luar ruamah darii balik jendela.
“Ibu tidak pernah berkata apa-apa, Nak. Ya yang Ibu katakan cuma taktik
menawar itu saja.” Tegas ibu padaku.
Belum sampai aku menjawab, ibu sudah menambahi
pembicaraannya lagi, “Ibu juga heran, kenapa ya nenek tak mampir ke sini lagi?
Atau jangan-jangan Si Nenek sudah tak jualan lagi kali, Nak.”
“Bisa saja, Bu. Padahal neneknya baik banget.” Jawabku
dengan wajah murung.
“Setiap pertemuan tentunya ada perpisahan, Nak.” Nasihat ibu padaku.
Kata-kata ibu yang berisi pepatah itu membuatku
sedikit lega. Yang aku takutkan hanyalah perkataan dari mulutku atau mulut
ibuku yang membuat sakit hati seseorang, hingga orang tersebut tak mau mampir
ke rumahku lagi.
***
Ternyata,
setelah aku dan ibuku mencari tahu, ditemukan juga jawabannya kenpa nenek tak
pernah ke rumah lagi. Suami nenek sudah meninggal sehari setelah nenek memberikan
hadiah ikan segar kepada kami. Kini, nenek pun diajak putrinya untuk ikut
tinggal bersama putrinya di kota. Semoga saja, nenek hidup nyaman di kota, dan
akhirnya tak perlu kerja keras lagi, berjalan dengan jarak yang jauh.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar