Pages

Minggu, 30 September 2018

Contoh Cerpen "Separuh Baya'


Separuh Baya
Oleh: Alfina Iftihani


“Berapa ini, Mbah?” Terdengar suara sayup-sayup diantara ributnya motor yang bekeliaran di jalan depan rumahku. Di sana aku melihat Ibuku tengah mengobrol dengan seorang nenek separuh baya yang kulitnya sudah tak kencang lagi.
“Aku kasih harga 5000 ya, Bu. Itu sudah harga pas, terserah Ibu mau menawar berapa. Hehehe.” Senyum nenek itu keluar lebar dari bibirnya.
Sedari tadi kuamati mereka berdua dari balik jendela rumah. Wajah Ibuku dan nenek separuh baya tersebut terlihat jelas tanpa terbayang-bayang oleh noda sedikit pun. Ya, itu karena kaca jendelaku telah ku lap seharian lalu.
Wajah Ibu dan nenek tersebut seketika pudar menjadi bayang-bayang semu. Aku melihat diriku sendiri seolah-olah ikut mengobrol bersama ibuku dan nenek separuh baya tersebut di depan rumah.
“Nak.....ambilkan Ibu dompet di kamar, ya.” Pikirku suara siapa yang memanggilku keras sekali itu. Ku tatap muka kedua orang di balik jendela yang sedari tadi aku amati. Tampak bayangan Ibuku melambai-lambai. Ternyata Ibuku yang berteriak dan menyuruhku untuk mengambil dompetnya di meja kamar.
“Iya, Bu. Ini saya ambilkan.” Jawabku segera setelah aku terbangun dari lamunanku.

***

 

“Ibu tadi membeli apa?” Tanyaku pada Ibu seketika setelah Ibu masuk ke dapur,
Ibu hanya tersenyum.
“Itu tadi ada Mbah yang menggendong bakul sayurnya. Beliau menjual sayur di pasar. Namun, tadi sayurnya masih, jadi beliau menjajaki jualannya dengan jalan kaki dan berteriak.” Jawaban Ibu berhenti karena napasnya yang tersendat. Dengan sigap, aku pun mengambilkan Ibu segelas air minum.
“Saat ibu di dapur, ibu mendengar suara teriakan yang cukup lirih. Pas Ibu keluar, ternyata Mbah tadi sudah berdiri di halaman rumah. Yasudah, ibu suruh duduk saja. Sayurnya juga masih bagus-bagus kok, Nak.” Lanjut Ibu menjawab sambil merajang bawang.
Jawaban ibu tadi membuatku melamun lagi tentang nenek tersebut. Pikirku, kok ada ya nenek yang seharusnya pensiun dalam bekerja, tetapi masih bekerja, apalagi kerjanya cukup melelahkan. Ya, menjajaki setiap jalan sambil menggendong bakul sayur. Langkahnya pun sudah tertatih-tatih. Yang lebih tidak aku percaya, ternyata nenek tersebut sudah berjualan di pasar terlebih dahulu. Kata Ibu sih, nenek itu ke pasar dari setelah Subuh benar, dan tetap dengan berjalan kaki. Dalam benakku, kemana cucu-cucunya sampai mebiarkan nenek separuh baya itu berjalan kaki mencari nafkah sendiri. Atau mungkinkah nenek tersebut tak mempunyai anak, sehingga tak mempunyai cucu. Atau dulu saat mudanya, nenek itu belum sempat menikah, sehingga tak bisa punya anak? Entahlah, aku hanya bisa memikirkan hal tersebut sendiri. Karena tak mungkin aku menanyakan hal konyol ini secara langsung kepada nenek itu.
“Kalau Ibu dipanggil, Ibu keluar ya. Ibu beli sayurnya. Kalau bisa ya Ibu beli semuanya. Hehehe.” Sahutku pada Ibu dengan mata tak berkedip dan sedikit melamun.
“Ibu juga merasa iba, Nak, dengan nenek itu. Kalau Ibu bisa bantu, ya pasti Ibu bantu. Akan tetapi, kalau untuk membeli semua sayuranya, ya itu tidak mungkin. Kalau Ibu sudah ada persediaannya di dapur, pastinya Ibu tak akan membelinya.” Jawab Ibu dengan suara pelan karena tengah konsentrasi dengan bawang yang sedang dirajangnya.
Aku terdiam sejenak. Dalam batinku, Ibu benar juga. Keuangan kita juga tak setebal para pejabat. Aku mengerti keadaan ibu. Beliau harus menghemat untuk biaya sekolah anak-anaknya juga.
“Bu, kenapa para koruptor tak melihat kalau masih banyak orang susah di bumi ini. Buktinya nenek setua itu aja masih bekerja, Bu. Kalau sampai hal tersebut terjadi, berarti kan keluarganya benar-benar membutuhkan uang, Bu.” Celotehku dengan geram karena memikirkan para koruptor yang terawa-tawa di layar televisi.
“Kamu tanya Ibu, lalu Ibu tanya siapa, Nak? Mereka itu sudah dibutakan mata hatinya. Sudahlah, biar Allah yang membalasnya kelak, Nak. Yang terpenting kamu tidak menjadi penerus yang jahat seperti itu.” Ujar Ibu kepadaku sambil menunjuk-nunjuk hidungku dengan jari telunjuknya.
“Orang yang korupsi itu, Nak, biasanya tidak pernah merasakan hidup susah. Kalau dulunya pernah miskin dan susah, pastinya dia tak akan berani mencuri uang rakyat.” Lanjut Ibu berbicara dengan penuh nasihat kepadaku.
***

Keesokan harinya, aku melihat nenek separuh baya itu berjalan kaki di depan rumahku. Masih saja kulihat langkah nenek tersebut dari balik jendela. Beliau langsung membuka pagar rumahku dan berdiri di pekarangan rumahku. Suara lembut dan lirih pun keluar dari bibir beliau.
“Bu, beli sayur, Bu.” Teriak nenek dengan nada setengah oktaf saja. Namanya juga nenek separuh baya, tentunya suaranya tak akan sekeras suara anak muda seperti aku.
“Nak, ambilkan Ibu dompet di kamar.” Teriak Ibu.
Seperti biasa, ibu memang selalu menaruh dompetnya di kamar. Kata beliau, supaya uang di dalam dompetnya tidak hilang karena orang yang bertamu tak akan masuk ke kamar begitu saja. Dulu, uang ibuku selalu hilang saat dompetnya ditaruh di dapur. Kalau ada orang yang masuk ke rumah, kan ibuku tidak akan tahu kalau tidak lagi berada di dapur. Untuk itu, ibuku waspada selalu saat ini.

***

Aku pun melangkahkan kakiku ke pekarangan rumah. Aku lalu memberikan dompet kepada ibuku. Aku melihat jajanan di dalam gerobak nenek separuh baya ini. Seketika aku duduk bersama-sama dengan ibuku dan nenek itu lalu aku berbisik pada ibuku untuk membelikan aku jajanan itu. Biasanya, ibu selalu memberi wejangan kepadaku agar tak jajan terus. Namun, kali ini ibu diam.
“Anak cantik. Ini putrimu ya, Bu?” Tanya Si nenek pada ibuku.
“Iya, Mbah. Masak anak kayak gini dibilang cantik Mbah? Haha.” Tawa lepas Ibuku keluar dari mulutnya. Aku hanya merengut saja.
Mbah, ini berapa?” Tanyaku pada Si Nenek.
“Itu seribuan, Nduk.” Jawab Si nenek sambil tersenyum.
Aku pun membalas senyum nenek itu. Kulirik ibuku tanda kalau aku ingin dibelikan jajan tersebut. Tanpa kode apapun, Ibu langsung bilang “Iya, ambil saja sesukamu.” Aku langsung melonjak kegirangan.
“Ini berapa, Mbah, semuanya?” Tanya ibu sambil menyodorkan semua belanjaan termasuk jajananku.
“12.000, Nak.” Jawab Si nenek dengan senyum lebar.
Pikirku, ibu belanja cukup banyak, tetapi kenapa murah sekali? Ah aku hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa tentang harga sayuran. Aku pun beranjak ke dalam rumah. Ibu masih di pekarangan rumah bersama nenek separuh baya itu.
Aku mendengar percakapan ibu sekilas, tetapi hanya samar-samar terdengar karena gemuruh suara motor yang cukup keras di jalan raya depan rumahku.

***

“Tadi Ibu bicara apa saja sama nenek itu?” Tanyaku segera setelah melihat ibu masuk ke dalam rumah dengan belanjaan di tangannya.
Ibu tersenyum dulu sambil menaruh belanjaannya di dapur. Aku mengikuti ibuku ke dapur. Namun, ibuku malah berjalan lagi menuju ruang televisi. Aku pun mengikuti ibuku kemanapun beliau berjalan, karena aku penasaran dengan apa yang dibicarakannya bersama nenek tadi.
“Ada apa. Nak?” Tanya ibu kepadaku setelah duduk di ruang televisi.
“Ibu tadi bercakap-cakap tentang apa dengan nenek itu?” Tanyaku penasaran.
“Tadi Ibu tanya, nenek punya cucu tidak? Lalu neneknya menjawab iya punya.” Belum selesai ibu bicara, langsung saja aku sahut dengan kesal.
“Lha kok cucunya tega sekali, Bu, membiarkan nenek separuh baya seperti itu bekerja sendiri, jalan kaki sejauh itu demi mencari uang. Apa tidak ada yang mencari nafkah dalam keluarganya?” Ucapku dengan ketus.
Ibu kaget melihat aku semarah ini.
“Tunggu dulu, Nak. Kan Ibu belum selesai bicara.” Potong ibu dengan nada pelan.
Ibu melanjutkan pembicaraannya. “Nenek ttadi itu memang mempunyai cucu, tetappi anak dan cucunya merantau semua. Beliau hanya memiliki 2 anak. Kedua anaknya pergi ke kota karena ikut dengan suaminya.”
“Jadi kedua anaknya itu putri, ya, Bu?” Tanyaku dengan halus dan tak ketus lagi.
“Iya. Kedua putrinya itu selalu memberi uang saat pulang ke rumah, tetapi nenek juga harus tetap bekerja, sebab suaminya menderita sakit keras.” Tegas ibu kepadaku.
“Memangnya sakit apa, Bu?” Tanyaku penasaran.
“Sakit stroke, Nak. Namun, masih dalam perawatan agar sembuh total. Dulunya parah sekali, tetapi sekarang sudah mendingan, kata nenek tadi.” Jawab ibu.
“Anaknya memang memberi uang yang cukup setiap pulang ke rumah, tetapi uang tersebut selalu ditabung nenek untuk biaya perawatan kakek. Lha untuk makan mereka sehari-hari, nenek mengandalkan penghasilannya dari jualan sayur.” Tegas Ibu kepadaku.
“Bu, kalau nenek itu lewat di depan rumah lagi, Ibu harus membeli dagangannya, ya. Supaya nenek itu punya penghasilan lumayan, Bu.” Pintaku iba.
“Ibu juga kasihan, Nak. Tadi Ibu sudah pesan pada nenek untuk selalu mampir ke sini kalau dagangannya di pasar masih ada. Tadi juga Ibu tolak kembalian uangnya.”
“Maksudnya, Bu?” Tanyaku heran.
“Tadi kan Ibu beli sayur sama jajan kamu 12.000. Nah, tadi Ibu kasih uang 15.000. saat mau diberi kembalian, Ibu tolak, Nak. Ibu merasa kasihan dengan nenek itu.” Jawab ibu dengan iba juga.
Ibuku sama sepertiku, selalu iba apabila melihat orang yang sudah separuh baya tetap mencari nafkah bagi hidupnya. Namun, apalah daya, ibu hanya bisa menolong sebatas itu saja. Ya, menolak uang kembalian saat membeli sayuran dari nenek itu. Itupun tidak seberapa.

***

“Wah tidak usah repot-repot, Mbah. Ini untuk jualan Mbah saja.” Tolak ibu kepada Si nenek separuh baya.
“Tidak apa-apa, Nak. Ini untuk lauk kamu dan anakmu.” Paksa nenek pada ibu.
Saat itu memang nenek datang lagi ke rumah. Seperti biasa, beliau duduk di pekarangan rumah. Kali ini nenek membawa ikan segar yang katanya sebagai hadiah kepada ibuku karena sudah baik pada nenek.  Namun, ibuku menolak. Kalau pun aku jadi ibuku, aku juga akan menolak. Namn, nenek memaksa. Bhkan beliau mengancam tidak akan ke sini lagi kalau permintaannya tak dituruti. Pikirku dan pikir ibuku, kalau nenek tak ke sini lgi, bagaimana kami bisa membantunnya? Akhirnya kami menerima ikan segar pemberian dari nenek.
“Kalau seperti ini nenek jadi senang berkunjung ke rumahmu, Nak.” Sahut nenek kepada kami.
“Sebentar ya, Mbah.” Tiba-tiba ibu masuk ke rumah.
Aku penasaran apa yang akan diambil ibu di dalam rumah. Ternyata ibu mengambil sebuah binngkisan yang di dalamnya berisi wingko babat. Ya, kemarin memang ibu mendapatkannya dari Pakde yang rumahnya di Tuban.
“Tidak usah sungkan ya, Mbah. Ini untuk Mbah.” Ibu memberi bingkisan wingko tersebut pada Si Nenek. Dan Alhamdulillah beliau mau menerimanya,
Nenek terharu menerima bingkisan wingko darri ibu. Matanya berkaca-kaca, tetapi air matanya seolah-olah ditahan agar tak menetes di depan kami. Aku pun ikut terharu menyaksikan kejadian ini. Hati seorang nenek yang sangat lembut dan tulus.
Pikiranku seketika melayang-layang. Sempat terpikir untuk tak membiarkan ibuku ontang-panting sendiri di waktu tuanya nanti. Sebentar terpikir juga kalau aku tak akan merantau agar ibuku dapat ku urus sendiri di rumah. Kalu pun aku diberi rejeki lebih, ingin rasanya kubantu nenek separuh baya itu di setiap langkahnya.

***

Mbah pamit ya, Nak. Besok InsyaAllah Mbah ke sini lagi.” Pamit nenek kepada kami.
“Kalau bisa sesering mungkin datang kemari, ya, Mbah. Kami tunggu selalu. Hehehe.” Sahut ibu dengan senyuman lebar di bibirnya.
Mbah, rumah Mbah dimana?” Tanyaku kepada Si Nenek yang mulai menggendong bakulnya di pinggang,
Mbah rumahnya di dekat sini kok, Nak. Di desa sebelah. Mbah pamit dulu ya.” Pamit Si Nenek dengan langkah tertatih.
Assalamualaikum.” Salam Si Nenek
Waalaikumussalam, Mbah.” Jawab serentak aku dan ibu.

***

Pagi ini, ibu belum memasak. Nenek belum juga mampir ke rumah, jadinya ibu belum belanja. Pikirku dan ibuku, mungkin jualannya nenek sudah habis di pasar. Alhamdulillah. Namun, keesokan harinya lagi bahkan sampai seminggu ternyata nenek tak pernah lagi mampir ke rumah.
“Jangan-jangan ibu mengucapkan kata yang kurang berkenan pada Si Mbah ya?” Tanyaku pada ibu yang mengamati keadaan luar ruamah darii balik jendela.
“Ibu tidak pernah berkata apa-apa, Nak. Ya yang Ibu katakan cuma taktik menawar itu saja.” Tegas ibu padaku.
Belum sampai aku menjawab, ibu sudah menambahi pembicaraannya lagi, “Ibu juga heran, kenapa ya nenek tak mampir ke sini lagi? Atau jangan-jangan Si Nenek sudah tak jualan lagi kali, Nak.”
“Bisa saja, Bu. Padahal neneknya baik banget.” Jawabku dengan wajah murung.
“Setiap pertemuan tentunya ada perpisahan, Nak.” Nasihat ibu padaku.
Kata-kata ibu yang berisi pepatah itu membuatku sedikit lega. Yang aku takutkan hanyalah perkataan dari mulutku atau mulut ibuku yang membuat sakit hati seseorang, hingga orang tersebut tak mau mampir ke rumahku lagi.

***

Ternyata, setelah aku dan ibuku mencari tahu, ditemukan juga jawabannya kenpa nenek tak pernah ke rumah lagi. Suami nenek sudah meninggal sehari setelah nenek memberikan hadiah ikan segar kepada kami. Kini, nenek pun diajak putrinya untuk ikut tinggal bersama putrinya di kota. Semoga saja, nenek hidup nyaman di kota, dan akhirnya tak perlu kerja keras lagi, berjalan dengan jarak yang jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar