Bungkusan
Ranjang
Oleh: Alfina Iftihani
Uwinggg....uwinggg....uwinggg...........
Ku
mendengar suara samar-samar di antara batas ambang sadar ataukah mimpiku. Ku
tarik selimut yang membungkus tubuhku dengan erat. Aku mendengar bsik-bisik tak
pasti dari bibir kedua kakak sepupuku yang dengan setia menjadi satpam tidurku
dari semalam. Sebenarnya aku masih tak sadar, mengapa kakak sepupuku berdua itu
tiba-tiba menjemputku dari ranjang rumahku lalu diajak pindah tidur ke ranjang
rumahnya. Memang ranjang yang aku tiduri kali ini lebih empuk dari ranjang yang
setiap hari aku tiduri, tetapi suasananya masih asing bagiku dan membuatku lama
memejamkan mata. Sebuah boneka putih besar berbentuk kambing pun akhirnya yang
bisa membuatku tidur nyenyak.
Keesokan
harinya, aku bangun dengan pandangan sedikit sadar. Masih terlihat kedua kakak
sepupuku yang ternyata setia menunggu tidurku.
“Kakak
tadi malam belum tidur ya? Kok tidak ngantuk kak?” tanyaku dengan nada kecil dan manja,
namun kakak sepupuku hanya menjawab dengan senyuman manis.
Aku
beranjak dari tempat tidurku. Terdengar suara keramaian di seberang jalan. Ku tengok dari jendela.
Naluri kecilku berteriak kegirangan karena ternyata keramaian tersebut berasal
dari rumah kecilku yang lengkap dipadati oleh banyak orang.
“Kakak...ayo
ke sana. Lihat rumahku, rame sekali. Ada acara apa ya? Wah aku penasaran pengen
cepat ke sana,
kak,”
celotehku pada kakak sepupuku yang setia membututiku.
“Ayooo
kak,
ke sana.” Rengekku sambil menarik tangan lembut kakak sepupuku.
“Nanti
kita akan ke sana, tapi adik mandi dulu ya. Mandinya di sini aja, kan rumah
adik sedang ada banyak orang, nanti malu loo.” Sahut kak Heni, salah satu dari
kakak sepupuku yang sedari tadi setia membuntutiku. Dalam hati, aku senang
sekali, karena akhirnya pertanyaanku dijawab juga dengan kata, tidak hanya
dengan senyuman.
***
“Adik
sudah siap?” Langkahku sseketika terhenti selepas keluar dari kamar mandi,
karena kakak sepupuku tiba-tiba muncul dari luar sehingga mengagetkanku.
“Siap
kak.” Sigap aku jawab dengan lantang.
“Mau
bawa boneka kakak ga? Ini buat adik aja.” Pinta kak Ika, kakak sepupuku yang
satunya lagi.
“Mau.....”
Teriakku dengan kegirangan karena mendapat boneka yang lucu, yang sempat
menemani tidurku semalam.
“Pelan-pelan
ya dik
jalannya, jangan cepat-cepat.” Pinta kak Heni yang melihat kesenangan dalam
raut wajahku.
Kini
aku telah menginjakkan kakiku di rumahku sendiri. Dengan senyuman yang lebar ku
tatap semua sudut rumahku yang dipeuhi oleh banyak orang yang masih asing bagi
ingatanku sebelumnya. Banyak temanku berada di antara kerumunan orang-orang
tersebut. Namun, aku massih tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi hingga
rumahku padat orang. Pikiranku melayang-layang, membayangkan semua kejadian ini
dengan imajinasiku. Seketika, lamunanku terhenti oleh pegangan hangat di bahuku
yang ternyata ialah Kak Ika.
“Ayo
dik, ke sana bareng teman-teman banyak.” Ajak Kak Ika padaku untuk ke
gerombolan tempat duduk yang rame oleh temanku sekolah dan bermain.
Tanpa
pikir panjang, aku lalu berlari ke arah temanku yang tengah asyik bercengkrama
satu sama lain. Aku tertawa bersama hingga larut dalam
keadaan sekitar. Ketika aku tengah bermain-main dengan temanku, tiba-tiba
sesosok tubuh kecil, berambut keriting berada tepat di belakangku. Hatiku
terperanjat ketika menyenggolnya. Saat kami berhadapan, barulah rasa takutku
hilang karena aku tahu kalau orang tersebut ialah saudaraku. Semakin bertanya-tanya
dalam benakku apa yang terjadi hingga semua saudara, rekan, dan tetangga
berkumpul semua di rumahku.
Di tengah keramaian canda dan tawa yang aku buat
dengan temanku, aku selalu saja melamun. Belum ada jawaban yang kutemukan. Apa
yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat rumahku bisa seramai ini.
Sedari tadi pun aku mencari kakak, ibu, dan bapakku.
Pikirku, hari ini adalah hari yang bahagia dan berbeda dengan hari-hari
sebelumnya karena rumahku sangat ramai. Ya, aku masih selalu menyebut “rumahku
sangat ramai” dengan tersenyum lepas kepada orang di sekelilingku saat itu. Namun,
tak ada yang membalas senyumku. Aku hanya bisa mendengar bisikan yang mengumpat
di balik pundak setiap orang. Ingin rasanya aku memanjangkan telingaku , agar
bisa kudengar dengan jelas perkataan dalam bisikan itu. Mungkin karena aku
masih kecil dan telingaku pun juga masih kecil, sehingga membuat suara kecil
tak dapat terdengar. Dalam batinku aku meminta mereka untuk berkata keras dan
jujur, tetapi mulutku masih saja tak bersuara karena kekecewaan akibat senyumku
tak disambut .
“Apa
yang terjadi, Mbak? Ibu mana?” Tanyaku pada sosok berambut keriting yang sedari ttadi di belakangku.
“Mbak
gendong aja ya, Ibu ada di dalam kok.”
Seketika
aku serahkan tubuhku pada Mbak dalam gendongannya. Dibawalah diriku melewati
lautan orang yang memenuhi ruang tengah rumahku. Pandangan iba dan sendu
terlihat jelas pada setiap kelopak mata yang menatapku. Terlihat sayup-sayup
bola mata mereka dihiasi percikan air yang membuat mata mereka berlinang.
***
“Aku
ga mau dia pergi, dia masih punya tanggungan, dia harus bertahan.
Huaaa.....aaaa.....huaaa….aaaa…”
Sebuah
tangisan pecah dari dalam kamar, ketika ku injakan kakiku di kamar, betapa
terkejutnya kalau yang menangis keras itu ialah ibuku. Ibuku menangis karena
apa? Tanyaku dalam hati yang membuat kakiku mmelangkah mendekatinya dan berada
di pelukannya.
“Kenapa,
Bu?” Tanyaku yang masih tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
“Ibu
tidak kenapa-kenapa nak, kamu sudah makan?” Seketika jawaban Ibuku terdengar
tenang ketika kudekap tubuhnya di pelukanku.
“Aku
belum makan, Bu. Nanti bareng Ibu saja ya.” Jawabku dengan penuh harapan.
“Adik
Cantik, maem sama Mbak aja ya, ayok....” Ajak Si Mbak yang berada tepat di
belakangku.
“Iya, Mbak.” Sahutku dengan menggandeng
tangan Si Mbak.
Aku
pun diajak Mbak lewat pintu depan. Di sekitar ruang depan, banyak orang yang
membawa buku kecil bertuliskan Al-Quran
di tangannya sambil menggerak-gerakkan bibirnya. Setahuku orang yang melakukan
hal seperti itu ialah orang yang sedang berdoa. “Lalu, doa itu ditujukan untuk
siapa? Mengapa harus dilakukan di rumahku?” Tanyaku dalam hati terus-menerus.
Ketika melewati kerumunan orang di ruang depan, aku melihat sesuatu terbungkus
di atas ranjang. Dalam batinku bertanya-tanya, apa isi bungkusan tersebut, lalu
mengapa terbaring segitu panjangnya? Hatiku seakan-akan diselimuti oleh
segudang pertanyaan. Untuk anak yang berumur lima tahun seperti aku ini, mungkin
akan terus bertanya-tanya terhadap hal asing yang sebelumnya belum pernah
kulihat. Dan hal ini, sama sekali belum pernah kulihat.
***
Selesai
makan, aku lalu kembali ke rumah, tempat tinggalku. Malas rasanya melangkahkan
kaki tuk pulang ke sana, karena selalu saja banyak pertanyaan di dalam batinku
tentang kejadian yang berada di rumahku.
Sesampainya
di rumah, aku melihat kain panjang memutari lingkungan rumahku. Kulihat di
dalam kain panjang itu, ada banyak saudaraku yang berdiri sambil membawa
gayung. Kuperhatikan gerak geriknya satu per satu. Di tengah lamunanku melihat prosesi acara di depanku itu, samar-samar aku
mendengar suara dari belakang yang kemudian di sahut oleh Si Mbak.
“Kasihan....kasihan...” Sekilas aku mendengar kata itu.
“Mbak, kenapa di belakang sepertinya selalu
menyebut kasihan sambil menoleh kepadaku?” tanyaku heran.
“Mereka
hanya terharu saja. Dik, apa kamu mengerti dengan apa yang sedang kita lihat
ini?” Tanya Mbak kepadaku.
“Aku
bingung, Mbak. Aku tadi melihat bungkusan panjang di atas ranjang yang ada pada
ruangan dapan, Mbak. Itu isinya apa ya?”
Tiba-tiba
Si Mbak menangis dan memelukku erat. Seketika, kain panjang di depanku itu
terbuka dan aku melihat bungkusan itu lagi.
“Mbak,
kenapa kamu menangis? Itu bungkusannya sudah dipindahkan ke dalam ruangan lagi.
Kita masuk yuk, Mbak. Aku penasaran isinya apa ya?” celotehku sambil berpikir dengan jari telunjuk masuk ke
rongga bibir perlahan.
Kutarik
Si Mbak masuk ke dalam ruangan rumah. Di sana, kulihat kakak kandungku berdiri
menyambut bungkusan tersebut. Dia menatapku tajam seolah-olah hendak
menyampaikan sesuatu kepadaku. Akan tetapi, kerumunan orang menjauhkan jarakku
dengan Mas kandungku.
***
Kuamati
saksama bungkusan tersebut sampai dibuka, karena rasa penasaranku benar-benar
sudah tidak dapat dibendung lagi. Perlahan-lahan kain batik penutupnya dibuka.
Bentuk kepala terlihat jelas terlebih dahulu. Pikirku, apakah itu manusia? Lalu
kenapa dibungkus seperti itu?
Kain
batik yang menutupi kepala bungkusan itu akhirnya terbuka penuh. Kuamati bentuk
wajah dan mukanya.
Astagfirullah. Ternyata
aku mengenali sosok yang dibungkus itu. Aku kira itu hanya benda mati yang
bisanya hanya buat bermain saja, tetapi kata Si Mbak, kalau manusia sudah
dibungkus seperti itu berarti sudah meninggal.
Aku terus mengamati sosok yang ada di balik kain batik
di atas ranjang itu. Kuusap mataku bekali-kali untuk membuktikan kalau aku
tidak bermimpi. Dalam benakku, aku selalu meracuni pikiranku agar tak meyakini
kata-kata Si Mbak. Mungkin hampir sedetik sekali aku memejamkan mata dan
membaca doa saat hendak membukanya, karena aku masih berharap kalau sosok itu
bukanlah ayah.
Lelah dengan rasa penasaran, aku pun mengamati sosok
tersebut. Kupandang wajahnya hingga tak berkedip.
Wajah
yang kulihat itu membuatku menangis dan setengah tak percaya. Sosok yang
dibungkus itu adalah benar
Ayahku.
Ayahku yang meninggal. Ya, aku baru menyadari setelah detik-detik terakhir. Setelah
Ayahku siap dikenakan busana sutera putih. Ingin rasanya kupeluk raganya tuk
terakhir kali, tapi apa daya. Busana putih telat membalut tubuh Ayahku. Ayahku
siap dimasukkan di kotak kayu yang ukurannya seukuran tubuhnya.
Tak
kulihat Ibuku keluar menyaksikan pemberangkatan Ayahku. Mungkin karena belum
mampu menerima kepergian Ayahku yang secara mendadak. Namun, Mas Kandungku
selalu setia menemani di sampingku untuk melihat pemberangkatan Ayah ke peristirahatan
terakhir.
Rasanya
baru kemarin aku, Ibuku dan mas
kandungku
menghabiskan waktu bersama dengan Ayah. Ayah izin pamit untuk mencari nafkah.
Ayahku ialah seorang sopir truk ikan yang akan berangkat apabila bosnya
mendapat tawaran untuk memasok ikan di daerah-daerah
langganan. Saat itu, Ayahku bertugas untuk mengantar ikan ke Lamongan. Menurut
cerita Ibuku, Ayahku meninggal karena membenahi ban truk yang bocor. Selesai
membenahi ban truk tersebut, Ayahku berjalan sambil membawa alat-alat berat.
Naasnya, Ayahku terpeleset dan kepalanya terbentur batu.
Bila diputar waktu, ingin rasanya aku mempunyai indera
ke-enam agar aku bisa melarang ayahku pergi bekerja, karena sebelumnya aku
sudah tau kalau akan terjadi mala bahaya pada ayahku. Namun, itu tidaklah
mungkin. Indera ke-enam hanyalah ada pada cerita imajinasi saja.
***
Selesai pemakaman, aku masuk ke dalam rumah dengan wajah
muram. Kulihat nenekku melamun sambil
menatap sekeliling dari jendela.
“Nek, sedang apa?” Tanyaku lirih pada Nenek.
“Nenek sedang mengingat masa-masa nenek dengan Ayahmu,
Nak. Ayahmu lucu sekali.” Senyum nenek
mulai terpancar di antara bayangan yang dipikirkannya..
“Nek?? Kenapa ya Ayah harus meninggal duluan? Padahal kan
Nenek adalah Ibunya. Seharusnya yang meninggal itu yang tua dulu kan Nek, jadi
ibunya dulu baru anaknya. Bener kan, Nek?” tanyaku konyol. Maklum, saat itu
umurku masih kecil untuk memahami semuanya.
Air mata nenek seketika tumpah dan nenek pun hanya
menjawab terpatah-patah dengan ada lirih. “Memang seharusnya Nenek duu yang
meninggal, Nak. Biar kamu tetap punya bapak sampai sekarang. Akan tetapi,
takdir berkata lain, Nak.” Jawaban itu terlontar oleh nenek dengan nada
menyesal. Aku hanya bisa menunduk dan merasakan pelukan hangat nenekku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar