Pages

Minggu, 30 September 2018

Contoh Cerpen 'Bungkusan Ranjang"

Bungkusan Ranjang
Oleh: Alfina Iftihani


Uwinggg....uwinggg....uwinggg...........
Ku mendengar suara samar-samar di antara batas ambang sadar ataukah mimpiku. Ku tarik selimut yang membungkus tubuhku dengan erat. Aku mendengar bsik-bisik tak pasti dari bibir kedua kakak sepupuku yang dengan setia menjadi satpam tidurku dari semalam. Sebenarnya aku masih tak sadar, mengapa kakak sepupuku berdua itu tiba-tiba menjemputku dari ranjang rumahku lalu diajak pindah tidur ke ranjang rumahnya. Memang ranjang yang aku tiduri kali ini lebih empuk dari ranjang yang setiap hari aku tiduri, tetapi suasananya masih asing bagiku dan membuatku lama memejamkan mata. Sebuah boneka putih besar berbentuk kambing pun akhirnya yang bisa membuatku tidur nyenyak.
Keesokan harinya, aku bangun dengan pandangan sedikit sadar. Masih terlihat kedua kakak sepupuku yang ternyata setia menunggu tidurku.
“Kakak tadi malam belum tidur ya? Kok tidak ngantuk kak?” tanyaku dengan nada kecil dan manja, namun kakak sepupuku hanya menjawab dengan senyuman manis.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Terdengar suara keramaian di seberang jalan. Ku tengok dari jendela. Naluri kecilku berteriak kegirangan karena ternyata keramaian tersebut berasal dari rumah kecilku yang lengkap dipadati oleh banyak orang.
“Kakak...ayo ke sana. Lihat rumahku, rame sekali. Ada acara apa ya? Wah aku penasaran pengen cepat ke sana, kak,” celotehku pada kakak sepupuku yang setia membututiku.
“Ayooo kak, ke sana.” Rengekku sambil menarik tangan lembut kakak sepupuku.
“Nanti kita akan ke sana, tapi adik mandi dulu ya. Mandinya di sini aja, kan rumah adik sedang ada banyak orang, nanti malu loo.” Sahut kak Heni, salah satu dari kakak sepupuku yang sedari tadi setia membuntutiku. Dalam hati, aku senang sekali, karena akhirnya pertanyaanku dijawab juga dengan kata, tidak hanya dengan senyuman.

***
“Adik sudah siap?” Langkahku sseketika terhenti selepas keluar dari kamar mandi, karena kakak sepupuku tiba-tiba muncul dari luar sehingga mengagetkanku.
“Siap kak.” Sigap aku jawab dengan lantang.
“Mau bawa boneka kakak ga? Ini buat adik aja.” Pinta kak Ika, kakak sepupuku yang satunya lagi.
“Mau.....” Teriakku dengan kegirangan karena mendapat boneka yang lucu, yang sempat menemani tidurku semalam.
“Pelan-pelan ya dik jalannya, jangan cepat-cepat.” Pinta kak Heni yang melihat kesenangan dalam raut wajahku.
Kini aku telah menginjakkan kakiku di rumahku sendiri. Dengan senyuman yang lebar ku tatap semua sudut rumahku yang dipeuhi oleh banyak orang yang masih asing bagi ingatanku sebelumnya. Banyak temanku berada di antara kerumunan orang-orang tersebut. Namun, aku massih tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi hingga rumahku padat orang. Pikiranku melayang-layang, membayangkan semua kejadian ini dengan imajinasiku. Seketika, lamunanku terhenti oleh pegangan hangat di bahuku yang ternyata ialah Kak Ika.
“Ayo dik, ke sana bareng teman-teman banyak.” Ajak Kak Ika padaku untuk ke gerombolan tempat duduk yang rame oleh temanku sekolah dan bermain.
Tanpa pikir panjang, aku lalu berlari ke arah temanku yang tengah asyik bercengkrama satu sama lain. Aku tertawa bersama hingga larut dalam keadaan sekitar. Ketika aku tengah bermain-main dengan temanku, tiba-tiba sesosok tubuh kecil, berambut keriting berada tepat di belakangku. Hatiku terperanjat ketika menyenggolnya. Saat kami berhadapan, barulah rasa takutku hilang karena aku tahu kalau orang tersebut ialah saudaraku. Semakin bertanya-tanya dalam benakku apa yang terjadi hingga semua saudara, rekan, dan tetangga berkumpul semua di rumahku.
Di tengah keramaian canda dan tawa yang aku buat dengan temanku, aku selalu saja melamun. Belum ada jawaban yang kutemukan. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat rumahku bisa seramai ini.
Sedari tadi pun aku mencari kakak, ibu, dan bapakku. Pikirku, hari ini adalah hari yang bahagia dan berbeda dengan hari-hari sebelumnya karena rumahku sangat ramai. Ya, aku masih selalu menyebut “rumahku sangat ramai” dengan tersenyum lepas kepada orang di sekelilingku saat itu. Namun, tak ada yang membalas senyumku. Aku hanya bisa mendengar bisikan yang mengumpat di balik pundak setiap orang. Ingin rasanya aku memanjangkan telingaku , agar bisa kudengar dengan jelas perkataan dalam bisikan itu. Mungkin karena aku masih kecil dan telingaku pun juga masih kecil, sehingga membuat suara kecil tak dapat terdengar. Dalam batinku aku meminta mereka untuk berkata keras dan jujur, tetapi mulutku masih saja tak bersuara karena kekecewaan akibat senyumku tak disambut .
“Apa yang terjadi, Mbak? Ibu mana?” Tanyaku pada sosok berambut keriting yang sedari ttadi di belakangku.
“Mbak gendong aja ya, Ibu ada di dalam kok.”
Seketika aku serahkan tubuhku pada Mbak dalam gendongannya. Dibawalah diriku melewati lautan orang yang memenuhi ruang tengah rumahku. Pandangan iba dan sendu terlihat jelas pada setiap kelopak mata yang menatapku. Terlihat sayup-sayup bola mata mereka dihiasi percikan air yang membuat mata mereka berlinang.

***

“Aku ga mau dia pergi, dia masih punya tanggungan, dia harus bertahan. Huaaa.....aaaa.....huaaa….aaaa…
Sebuah tangisan pecah dari dalam kamar, ketika ku injakan kakiku di kamar, betapa terkejutnya kalau yang menangis keras itu ialah ibuku. Ibuku menangis karena apa? Tanyaku dalam hati yang membuat kakiku mmelangkah mendekatinya dan berada di pelukannya.
“Kenapa, Bu?” Tanyaku yang masih tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
“Ibu tidak kenapa-kenapa nak, kamu sudah makan?” Seketika jawaban Ibuku terdengar tenang ketika kudekap tubuhnya di pelukanku.
“Aku belum makan, Bu. Nanti bareng Ibu saja ya.” Jawabku dengan  penuh harapan.
“Adik Cantik, maem sama Mbak aja ya, ayok....” Ajak Si Mbak yang berada tepat di belakangku.
“Iya, Mbak.” Sahutku dengan menggandeng tangan Si Mbak.
Aku pun diajak Mbak lewat pintu depan. Di sekitar ruang depan, banyak orang yang membawa buku kecil bertuliskan Al-Quran di tangannya sambil menggerak-gerakkan bibirnya. Setahuku orang yang melakukan hal seperti itu ialah orang yang sedang berdoa. “Lalu, doa itu ditujukan untuk siapa? Mengapa harus dilakukan di rumahku?” Tanyaku dalam hati terus-menerus. Ketika melewati kerumunan orang di ruang depan, aku melihat sesuatu terbungkus di atas ranjang. Dalam batinku bertanya-tanya, apa isi bungkusan tersebut, lalu mengapa terbaring segitu panjangnya? Hatiku seakan-akan diselimuti oleh segudang pertanyaan. Untuk anak yang berumur lima tahun seperti aku ini, mungkin akan terus bertanya-tanya terhadap hal asing yang sebelumnya belum pernah kulihat. Dan hal ini, sama sekali belum pernah kulihat.
***

Selesai makan, aku lalu kembali ke rumah, tempat tinggalku. Malas rasanya melangkahkan kaki tuk pulang ke sana, karena selalu saja banyak pertanyaan di dalam batinku tentang kejadian yang berada di rumahku.
Sesampainya di rumah, aku melihat kain panjang memutari lingkungan rumahku. Kulihat di dalam kain panjang itu, ada banyak saudaraku yang berdiri sambil membawa gayung. Kuperhatikan gerak geriknya satu per satu. Di tengah lamunanku melihat  prosesi acara di depanku itu, samar-samar aku mendengar suara dari belakang yang kemudian di sahut oleh Si Mbak. “Kasihan....kasihan...” Sekilas aku mendengar kata itu.
 “Mbak, kenapa di belakang sepertinya selalu menyebut kasihan sambil menoleh kepadaku?” tanyaku heran.
“Mereka hanya terharu saja. Dik, apa kamu mengerti dengan apa yang sedang kita lihat ini?” Tanya Mbak kepadaku.
“Aku bingung, Mbak. Aku tadi melihat bungkusan panjang di atas ranjang yang ada pada ruangan dapan, Mbak. Itu isinya apa ya?”
Tiba-tiba Si Mbak menangis dan memelukku erat. Seketika, kain panjang di depanku itu terbuka dan aku melihat bungkusan itu lagi.
“Mbak, kenapa kamu menangis? Itu bungkusannya sudah dipindahkan ke dalam ruangan lagi. Kita masuk yuk, Mbak. Aku penasaran isinya apa ya?” celotehku sambil berpikir dengan jari telunjuk masuk ke rongga bibir perlahan.
Kutarik Si Mbak masuk ke dalam ruangan rumah. Di sana, kulihat kakak kandungku berdiri menyambut bungkusan tersebut. Dia menatapku tajam seolah-olah hendak menyampaikan sesuatu kepadaku. Akan tetapi, kerumunan orang menjauhkan jarakku dengan Mas kandungku.

***

Kuamati saksama bungkusan tersebut sampai dibuka, karena rasa penasaranku benar-benar sudah tidak dapat dibendung lagi. Perlahan-lahan kain batik penutupnya dibuka. Bentuk kepala terlihat jelas terlebih dahulu. Pikirku, apakah itu manusia? Lalu kenapa dibungkus seperti itu?
Kain batik yang menutupi kepala bungkusan itu akhirnya terbuka penuh. Kuamati bentuk wajah dan mukanya.
Astagfirullah. Ternyata aku mengenali sosok yang dibungkus itu. Aku kira itu hanya benda mati yang bisanya hanya buat bermain saja, tetapi kata Si Mbak, kalau manusia sudah dibungkus seperti itu berarti sudah meninggal.
Aku terus mengamati sosok yang ada di balik kain batik di atas ranjang itu. Kuusap mataku bekali-kali untuk membuktikan kalau aku tidak bermimpi. Dalam benakku, aku selalu meracuni pikiranku agar tak meyakini kata-kata Si Mbak. Mungkin hampir sedetik sekali aku memejamkan mata dan membaca doa saat hendak membukanya, karena aku masih berharap kalau sosok itu bukanlah ayah.
Lelah dengan rasa penasaran, aku pun mengamati sosok tersebut. Kupandang wajahnya hingga tak berkedip. Wajah yang kulihat itu membuatku menangis dan setengah tak percaya. Sosok yang dibungkus itu adalah benar Ayahku. Ayahku yang meninggal. Ya, aku baru menyadari setelah detik-detik terakhir. Setelah Ayahku siap dikenakan busana sutera putih. Ingin rasanya kupeluk raganya tuk terakhir kali, tapi apa daya. Busana putih telat membalut tubuh Ayahku. Ayahku siap dimasukkan di kotak kayu yang ukurannya seukuran tubuhnya.
Tak kulihat Ibuku keluar menyaksikan pemberangkatan Ayahku. Mungkin karena belum mampu menerima kepergian Ayahku yang secara mendadak. Namun, Mas Kandungku selalu setia menemani di sampingku untuk melihat pemberangkatan Ayah ke peristirahatan terakhir.
Rasanya baru kemarin aku, Ibuku dan mas kandungku menghabiskan waktu bersama dengan Ayah. Ayah izin pamit untuk mencari nafkah. Ayahku ialah seorang sopir truk ikan yang akan berangkat apabila bosnya mendapat tawaran untuk memasok ikan di daerah-daerah langganan. Saat itu, Ayahku bertugas untuk mengantar ikan ke Lamongan. Menurut cerita Ibuku, Ayahku meninggal karena membenahi ban truk yang bocor. Selesai membenahi ban truk tersebut, Ayahku berjalan sambil membawa alat-alat berat. Naasnya, Ayahku terpeleset dan kepalanya terbentur batu.
Bila diputar waktu, ingin rasanya aku mempunyai indera ke-enam agar aku bisa melarang ayahku pergi bekerja, karena sebelumnya aku sudah tau kalau akan terjadi mala bahaya pada ayahku. Namun, itu tidaklah mungkin. Indera ke-enam hanyalah ada pada cerita imajinasi saja.

***

            Selesai pemakaman, aku masuk ke dalam rumah dengan wajah muram. Kulihat nenekku melamun sambil menatap sekeliling dari jendela.
            “Nek, sedang apa?” Tanyaku lirih pada Nenek.
            “Nenek sedang mengingat masa-masa nenek dengan Ayahmu, Nak. Ayahmu lucu sekali.”  Senyum nenek mulai terpancar di antara bayangan yang dipikirkannya..
            “Nek?? Kenapa ya Ayah harus meninggal duluan? Padahal kan Nenek adalah Ibunya. Seharusnya yang meninggal itu yang tua dulu kan Nek, jadi ibunya dulu baru anaknya. Bener kan, Nek?” tanyaku konyol. Maklum, saat itu umurku masih kecil untuk memahami semuanya.
            Air mata nenek seketika tumpah dan nenek pun hanya menjawab terpatah-patah dengan ada lirih. “Memang seharusnya Nenek duu yang meninggal, Nak. Biar kamu tetap punya bapak sampai sekarang. Akan tetapi, takdir berkata lain, Nak.” Jawaban itu terlontar oleh nenek dengan nada menyesal. Aku hanya bisa menunduk dan merasakan pelukan hangat nenekku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar